Polisi Nembak Polisi di Lampung, Kajian Psikologi

Polisi Nembak Polisi di Lampung, Kajian Psikologi

Pada tahun 260, dalam pertempuran di Edessa, pasukan Kaisar Romawi, Valerian, terdesak. Jika perang diteruskan, pasukannya bakal habis. Maka, ia menawarkan gencatan senjata.

Musuhnya, Shapur I Agung, Syahanshah dari Kekaisaran Sassanid, menerima usulan gencatan senjata. Perang pun berhenti.

Tapi kemudian Kaisar Syahanshah menahan Kaisar Valerian. Dipenjara. Pihak Valerian menganggap, itu pengkhianatan gencatan senjata.

Menurut beberapa akun (tulis Neel Burton di bukunya), Syahanshah tidak cuma memenjarakan Valerian, ditambahi hukuman: Valerian harus jadi tumpuan kaki Kaisar Syahanshah setiap akan naik kuda.

Jadi, badan Valerian selalu diinjak Syahanshah sebagai tumpuan, setiap naik kuda.

Akhirnya, Valerian menawarkan tebusan uang sangat besar untuk pembebasan dirinya. Tawaran tebusan diterima kaisar. Maka, Valerian dibebaskan.

Tak lama, Valerian menangkap Kaisar Syahhanshah. Lalu dihukum dengan cara, mencekoki mulut kaisar dengan lelehan emas yang sudah dipanaskan. Semacam mencetak emas.

Setelah Kaisar Syahanshah meninggal, tubuhnya dikuliti. Lalu, sayatan kulit tubuh itu dibentuk, diisi jerami, membentuk piala. Djadikan piala bergilir aneka lomba.

Di tingkat pelajar SD, Tommy, tidak dirinci reaksi Tommy atas hukuman. Di sejarah Romawi, digambarkan begitu kejam.

Pelajaran sejarah dari buku Burton, bagus untuk menginspirasi masyarakat, agar menahan diri tidak menghinakan orang. Tapi, itu tidak mungkin menutup kejahatan Aipda Rudi membunuh Aipda Karnain.

Buku Burton bagus sebagai warning, agar orang tidak melakukan kesalahan. Meski dalam emosi tinggi. Untuk menghinakan orang.

Tapi, kalau kesalahan sudah terjadi, Aipda Rudi tetap harus diproses hukum sesuai prosedur yang berlaku. (*)

Sumber: