Siapa Membunuh Putri (24)

A PHP Error was encountered
Severity: Warning
Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag
Filename: frontend/detail-artikel.php
Line Number: 116
Backtrace:
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view
File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once
Bukan kerepotan itu yang terutama saya hindari tapi integritas yang terbeli. Sekali orang tahu berapa harga diri media kami, orang akan mudah mengukur berapa harus menawar sikap kami. Dan selamanya kami akan tergadai. Berita pembunuhan Putri ini belum selesai. Saya merasa ada tugas untuk mengawal kasusnya sampai pada vonis pengadilan.
Saya bertahan di percetakan sampai koran selesai dicetak. Ada kelegaan luar biasa melihat bagaimana koran-koran dikemas, dibungkus, diikat sebundel-sebundel, lalu dibagi-bagi sesuai orderan agen. Hari itu orderan dari agen naik hampir 20 persen. Hendra juga usul tambah oplah untuk promosi.
Tim pemasaran sedang garap pasar pelanggan di beberapa perumahan baru. Pulang dari percetakan saya tertidur sangat lelap. Mungkin karena terlalu capek dan puas rasanya karena saya merasa telah ambil keputusan yang benar, yang tak melawan hati nurani saya. Mungkin juga karena saya esok janji bertemu Inayah.
Orang tua Inayah datang lebih cepat ke Borgam.
”Katanya bulan depan?” tanyaku ketika Inayah mengabarkan rencana itu.
”Tahu tuh, tiba-tiba aja pengin datang lebih cepat. Bulan depan kelamaan katanya,” kata Inayah.
Saya ke Pesantren Alhidayah lagi, ketemu Inayah lagi karena kami sedang menyiapkan edisi percobaan majalah Manzilah. Uztad Samsu sangat bersemangat mendukung. Dana awal dia sisihkan dari dana operasional pesantren. Ia juga membentuk tim pemasaran dan iklan. Agak susah mendapatkan iklan untuk edisi pertama. Tapi lumayan ada beberapa yang mau pasang dengan diskon besar. Beberapa ormas Islam memasang iklan ucapan selamat. Sebagai konsultan saya optimistis dengan majalah ini. Tim yang saya bantu menyiapkannya bekerja dengan sangat baik. Tulisan-tulisan hanya perlu sedikit disunting.
”Mas Abdur siap, ya?”
”Siap apa? Peluncuran majalah?”
”Bukan. Ketemu Ayah…”
”Kayaknya kamu deh yang tak siap… Nanya terus,” kataku.
”Kalau saya minta Mas Abdur melamar saya ke Ayah siap juga kan?”
”Harus saat ketemu nanti ya?”
”Tuh, kan nggak siap.”
Saya siap melamarmu, Inayah. Tapi yang saya tak tahu apakah saya siap hidup bersamamu setelah lamaran dan pernikahan yang pasti akan kita tentukan kapan. Apa rencanamu? Apakah saya bisa menyesuaikannya? Kita harus bicara lebih dahulu. Saya belum punya apa-apa. Rumah yang akan saya cicil itu belum selesai dibangun. Paling tidak saya harus menunggu sampai rumah itu selesai.
Sumber: