Salatiga, Kota Paling Toleran karena Wareg, Wasis, Waras
A PHP Error was encountered
Severity: Warning
Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag
Filename: frontend/detail-artikel.php
Line Number: 116
Backtrace:
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view
File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once
Kota kecil di Jawa Tengah ini mendapat gelar toleransi terbaik menurut Setara Institut. Sebutan itu tidak muncul tiba-tiba. Perlu satu dekade hingga Salatiga meraih gelar itu. Selama lima hari, Harian Disway tinggal di kota tersebut.
------------------------------
KOTA Salatiga memang tidak besar. Luasnya 5,400 hektare. Di kota yang kontur jalannya naik-turun tersebut ada empat kecamatan dan 23 kelurahan. Penduduknya 183 ribu jiwa. Ia dikelilingi dua daerah. Yakni, Kabupaten Semarang dan Kota Semarang.
Sabtu (24/4)/2021, Harian Disway dan rombongan Peace Train Indonesia (PTI) mendapat undangan berbuka bersama di rumah dinas wali kota Salatiga. Letaknya di seberang Bunderan Taman. Itulah sebuah bundaran yang tepat di tengah Kota Salatiga. Di sisi timurnya ada sebuah mal. Satu-satunya di kota tersebut.
Di sisi yang lain ada sebuah warung burjo. Bubur kacang ijo. Di Surabaya, warung semacam itu sering disebut sebagai warkop.
Warung itu sepi pengunjung. Maklum, bulan puasa. Hanya tampak dua orang yang membeli minuman dan semangkuk mi instan.
Tak ada tirai yang menutupi warung itu. Tidak seperti di kota-kota lain yang mewajibkan warung memakai tirai saat Ramadan.
Menghadap ke utara Bunderan Taman adalah rumah dinas wali kota. Bangunannya seperti rumah kuno. Di depan pintu masuk teras rumah dinas itu ada tugu setinggi sekitar dua meter. Tulisannya: Adipura Kirana Tahun 2016. Itulah bentuk penghargaan atas pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan, pariwisata, dan investasi.
Di seberang pintu masuk terdapat patung dewa Ganesha. Lambang kecerdasan, kemakmuran, dan ilmu pengetahuan.
Setelah kami asyik mengelilingi teras rumah dinas itu, seorang anggota Satpol PP datang. ’’Mari masuk. Sebentar lagi Pak Wali datang,’’ kata anggota Satpol PP yang di dadanya ada tulisan nama Hari tersebut.
Kami lantas diajak di sebuah ruangan di halaman belakang rumah dinas. Ruangan itu berukuran 10 x 7 meter dan bisa menampung 20 anggota rombongan dari PTI.
Di situ, kursi-kursi sudah berjajar. Hidangan buka puasa juga sudah siap. Dua puluh menit kemudian, Wali Kota Salatiga Yulianto turun dari mobil Pajero Hitam. “Maaf menunggu lama. Saya habis rapat dengan Forkopimda,” katanya lalu membuat salam dengan mengatupkan kedua tangan di depan. Seperti salam namaste.
Yulianto memakai kemeja putih lengan panjang yang digulung setinggi siku. Sore itu, ia langsung duduk di sebelah Direktur Persemaian Cinta dan Kasih (Percik) Harryani Sapta Ningtyas. Yakni sebuah lembaga yang mengkaji isu sosial, keberagaman, dan politik.
Yulianto terlihat senang dengan kehadiran kami. Wajahnya tampak semringah di balik masker. Menurutnya, PTI adalah contoh asosiasi yang mampu menyemaikan keberagaman.
Politisi Partai Gerindra itu mengaku tidak kaget atas gelar kota paling toleran dari Setara Institut tersebut. Sebab, selama 10 tahun terakhir, Salatiga selalu ada di peringkat kedua kota toleran di Indonesia itu.
Sumber: