Salatiga, Kota Paling Toleran karena Wareg, Wasis, Waras

Salatiga, Kota Paling Toleran karena Wareg, Wasis, Waras

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag

Filename: frontend/detail-artikel.php

Line Number: 116

Backtrace:

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view

File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once

Menurut Yulianto, toleransi bisa muncul jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Baginya, ada tiga komponen yang menunjang toleransi. Yakni, wareg, wasis, dan waras. Wareg alias kenyang adalah filosofi terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Wasis berarti pendidikan yang memadai. Dan waras terpenuhinya kesehatan. 

“Intervensi pemkot terkait anggaran pendidikan sampai 38 persen dari APBD. Padahal amanat UU sekitar 20 persen. Karena itu, indeks pembangunan manusia (IPM) bisa naik. Patutlah kami mendapat gelar toleran,” katanya.

Karena Salatiga tak terlalu luas, pemkot juga mudah mengontrol masyarakat. Kalau ada potensi gesekan, pemkot langsung bertindak. Salah satunya dengan mengajak makan bersama di kediaman dinas wali kota. 

Wali kota dua periode itu menjelaskan, di Salatiga ada 13 komunitas yang menjaga keragaman. Tugas mereka adalah merangkul masyarakat akar rumput. Mereka juga bisa menjadi jembatan pihak-pihak yang bermasalah lantas dipertemukan dengan pemangku kebijakan. “Jadi kalau ada riak-riak tidak bakal jadi besar,” ungkap laki-laki 53 tahun itu. 

Pendeta Belanda Josien Folbert mendapat giliran berbicara melalui Zoom. Menurutnyi, selama ini tingkat toleransi di Salatiga sudah cukup baik. Dia membandingkannya dengan Belanda. Berdasar sejarah, justru toleransi di Belanda cukup rendah. Berbeda dengan Indonesia yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda

Seiring waktu tingkat toleransi di Belanda mulai meningkat. Bahkan masyarakat di sana tidak mau ada batas-batas. Sehingga, tercipta masyarakat yang majemuk dan damai. “Kami belajar juga dari Salatiga. Ini merupakan proses belajar bersama. Kalau saling percaya pasti bisa mencapai sesuatu,” katanya. (*)

(sumber : Disway)

Sumber: