Dugaan Code of Silence di Kasus Sambo
Dua hal itu, menurutnya, bisa dijadikan bahan pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman Eliezer.
Akhirnya: "Tuhan maha tahu segalanya. Tuhan mengetahui orang yang bingung, lantas membunuh orang lainnya. Maka, hukum negara perlu memberikan keadilan, sampai sejauh mana terdakwa wajib bertanggung jawab."
Magnis tidak mengutip ayat-ayat suci Alkitab. Dari kesaksiannya, ia menegaskan bahwa Eliezer jelas bersalah membunuh Yosua. Tapi perlu keringanan hukuman.
Eliezer didakwa melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hukuman maksimal adalah hukuman mati.
Sedangkan, saksi ahli yang meringankan terdakwa Eliezer, Reza Indragiri, juga berpendapat serupa. Eliezer bersalah, tapi ada unsur meringankan hukuman.
Reza menyebut, ada istilah rahasia di kepolisian disebut Code of Silence. Artinya, kira-kira sesama polisi harus saling melindungi, walaupun yang dilindungi bersalah. Dalam perkara Sambo, hal itu tampak jelas.
Dikutip dari The New York Times terbitan 3 Desember 2018, tulisan Monica Davey, bertajuk: "Police Code of Silence Is on Trial After Murder by Chicago Officer", diungkap peristiwa yang menghebohkan di Amerika Serikat (AS) waktu itu.
Senin, 20 Oktober 2014 malam di Chicago, AS. Remaja pria kulit hitam, Laquan McDonald ditembak mati polisi. Penyebab, tidak disebutkan.
Saat kejadian di sekitar TKP banyak orang dan ada sembilan polisi. Ada kemungkinan di antara warga yang bukan polisi, melihat langsung kejadian tersebut.
Tapi, polisi saat itu juga membubarkan massa. Menyuruh massa pulang. Tidak satu pun yang dimintai keterangan sebagai saksi. Lalu, dari sembilan polisi di TKP, hanya tiga polisi kulit putih (soal warna kulit, penting) yang jadi saksi. Yakni: David March, Joseph Walsh dan Thomas Gaffney.
Tiga polisi ini memberikan keterangan berbelit-belit di persidangan. Intinya menyatakan, remaja kulit hitam itu melakukan pencurian. Ketika dikejar polisi, tersangka Laquan McDonald melawan, hampir melukai polisi. Sehingga ditembak mati.
Sementara itu, beredar di medsos yang diunggah orang yang mengaku melihat kejadian tersebut, bahwa Laquan McDonald tidak melakukan pelanggaran hukum. Tiba-tiba ditembak oleh polisi kulit putih bernama Jason Van Dyke.
Kasus itu menghebohkan AS. Muncul gerakan protes publik. Sementara, bukti hukum, antara lain, keterangan saksi mata tidak ada dari unsur warga. Semuanya polisi.
Jaksa melakukan penyelidikan. Antara lain, rekaman CCTV di sekitar TKP. Juga mendapat informasi dari saksi mata yang dilindungi.
Akhirnya ditemukan bukti hukum, bahwa pembunuh McDonald adalah polisi Jason Van Dyke. Lantas, polisi itu didakwa melakukan pembunuhan tingkat dua. Kalau di Indonesia, pembunuhan tidak sengaja.
Sumber: