Pegawai Kena Staycation di Cikarang

Pegawai Kena Staycation di Cikarang

Kasus staycation pabrik kosmetik di Cikarang itu, termasuk definisi ini.

Tapi, alamak… di AS sendiri gugatan hukum WRSV tidak sepenuhnya jalan. Antara jalan dan tidak. Baik karena korban malu (terpaksa) terpublikasi per, atau aparat hukum yang ogah-ogahan, atau aparat hukumnya pria bersikap diskriminatif cenderung berpihak pria (pelaku).

Sampai akhirnya muncul gerakan medsos Metoo, Oktober 2017 di AS. Gerakan yang semula kecil, lalu meluas dari kekerasan dan pelecehan seksual, khususnya di tempat kerja. Gerakan ini membesar gegara kasus Harvey Weinstein.

Awal Oktober 2017 The New York Times dan The New Yorker memberitakan, produser film top Hollywood, AS, Harvey Weinstein, memperkosa sekitar 80 aktris dan wanita pekerja film sejak 1987.

Artinya, sejak problem ini dipicu buku MacKinnon pada 1979, baru 38 tahun kemudian meledak jadi gerakan Metoo. Yang awalnya juga biasa-biasa saja.

USA Today, 20 Februari 2018 memberitakan, bertajuk: “How common is sexual misconduct in Hollywood?” ditulis Maria Puente dan Cara Kelly, membikin gerakan Metoo dapat angin.

Di berita itu menyitir data dari National Intimate Partner and Sexual Violence Survey.

Diungkap, di AS ada 5,6% wanita dewasa (hampir 7 juta) dan 2,5% pria dewasa (hampir 3 juta) melaporkan beberapa jenis kekerasan seksual oleh pelaku terkait tempat kerja.

Hampir 4% wanita melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh figur non-otoritas dan 2,1% melaporkan figur otoritas. Otoritas adalah terkait relasi kuasa.

Sekitar 2,0% pria melaporkan kekerasan seksual oleh figur non-otoritas, dan 0,6% melaporkan figur otoritas.

Bagi perempuan, jenis kekerasan seksual yang paling sering dilaporkan adalah kontak seksual yang tidak diinginkan (3,5% perempuan); untuk pria, itu adalah pengalaman seksual yang tidak diinginkan tanpa kontak (1,3% pria).

Diperkirakan 1 juta wanita (0,8%) telah diperkosa oleh pelaku terkait tempat kerja. Dampak kekerasan seksual itu bagi korban adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Sejak itu wanita (korban) di sana mengamuk, menggugat hukum pelaku. Akibatnya, terjadi equilibrium baru. Menuju perlakuan kesetaraan antara pria-wanita terkait WRSV di sana. Malah, pelaku pria dihukum yang dirasa terlalu keras, dengan hukuman penjara puluhan tahun.

Apakah WRSV di Indonesia bisa mendapatkan keadilan yang relevan? Jawabnya, di sebagian kasus, ya. Sebagian lainnya, belum. Contohnya, kita amati perkembangan kasus di pabrik kosmetik di Cikarang ini. (*)

Sumber: