Banteng Ngamuk

WAKTU pertama kali mendapatkan tugas di pemerintahan Kota Wisata Batu sekitar tahun 2008, ada kegiatan kesenian berupa Karnaval Bantengan Nuswantoro. Terus terang saja, saya sangat asing dengan budaya Bantengan. Kalau reog atau jaran kepang dan gelar tradisional lain, saya cukup mengenal dengan baik.
Sejak kecil saya akrab, bahkan di kampung saya sering menunggu kedatangan rombongan reog atau jaran kepang, meskipun saya agak takut-takut saat menontonnya. Tetapi Bantengan, mohon maaf saya mungkin tidak mengenalnya.
Maka ketika ada yang menyebut Bantengan, langsung saja pikiran saya bersinggungan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai yang ikut membesarkan karier politik saya, yang berlambang banteng. Banteng, dan bantengan.
Tetapi setelah mengenal lebih dalam seni bantengan, saya makin catuh cinta. Bantengan sangat menarik, bukan saja gerakan-gerakan yang ditampilkan, tetapi juga makna filosofi yang dikandung pada setiap gerakan.
Bantengan adalah nama kesenian tradisional, yang ada di wilayah Kota Batu dan sekitarnya. Sebagaimana seni-seni tradisional lainnya, bantengan juga nyaris punah.
Seni Bantengan lahir dari masyarakat yang tinggal di kawasan dan sekitar hutan, yang diilhami oleh gerakan dari seluruh penghuni hutan, termasuk semua satwa yang ada di dalamnya. Tarian ini simbol kehidupan masyarakat sederhana, tanpa simbol kemewahan.
Rampak tarian nampak tidak beraturan, tapi gerakan-gerakannya sejajar, masing-masing memiliki peran berbeda, seperti banteng, harimau, kera dan satwa lain penghuni hutan. Suatu kehormatan bila saya berada di tenda panggung kehormatan Karnaval Nuswantoro, yang berlangsung begitu semarak.
Hampir seluruh warga masyarakat tumplek blek! Karnaval yang begitu panjang seakan tidak habis-habisnya, tetapi tidak masalah karena ketika itu, tahun 2008, Kota Wisata Batu belum dibebani kemacetan lalu lintas seperti saat ini.
Sumber: