Masjid Kami Dilempari Tinja
A PHP Error was encountered
Severity: Warning
Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag
Filename: frontend/detail-artikel.php
Line Number: 116
Backtrace:
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view
File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once
Tiga pendiri Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa) adalah putra Haji Muhammad Umar Abdul Aziz. Pengusaha udang windu asal Leran, Gresik, itu memboyong keluarga besarnya untuk mengembangkan usaha dan menyebarkan syiar Islam di kawasan Dolly pada 1960-an. Kala itu, perjuangannya jauh lebih mencekam ketimbang sekarang. Pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat kuat di Surabaya.
***
“JARE abah, jumatan niku kudu ngesaki celurit (Kata Abah, salat Jumat harus membawa celurit, Red). Jaga-jaga diserang,” ujar Kiai Mohammad Nu’man saat ditemui di Pesantren Jeha Putat Jaya Gang IV B, Jumat (30/4/21).
Putra kedua dari enam bersaudara itu, mengatakan bahwa dulu suasana politik sedang menghangat. Sering terjadi gesekan antara PKI dengan tokoh Islam.
Pemicunya adalah terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. PKI membawa semangat land reform untuk membagikan hak atas tanah ke rakyat kecil.
PKI mengambil alih tanah di berbagai desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara sepihak. Kondisi tersebut menyulut api konflik dengan banyak haji, kiai, hingga pengelola pesantren yang memiliki tanah luas.
Konflik tidak hanya terjadi di daerah pedesaan. Situasi politik juga membuat tanah milik warga Tionghoa di Surabaya diambil paksa. Dalam sekejap warga membangun ratusan rumah di atas aset itu. Selain aset tanah, makam Tionghoa pun jadi sasaran.
Itulah yang terjadi di Dolly. Lokalisasi dibangun di eks Pemakaman Tionghoa. Lokasinya meliputi wilayah Girilaya hingga makam Islam di Putat Gede yang kini masih dipertahankan.
Sebagian besar makam itu sudah dirobohkan. Semua berganti dengan permukiman padat. “Keluarga mengambil jenazah leluhurnya untuk diabukan atau dipindahkan,” kata Kiai Nu’man.
Terjadi lonjakan penduduk yang signifikan kala itu. Urbanisasi merajalela. Orang-orang datang dari pedesaan untuk mengadu nasib di kota. Kebutuhan tempat tinggal dan keterbatasan lahan menjadi masalah Kota Pahlawan. Maka, pendudukan area makam terpaksa dilakukan.
Gerakan 30 September pun 1965 meletus. Sentimen terhadap warga Tionghoa semakin meningkat. Pendudukan di area Makam Tionghoa semakin menjadi-jadi.
Tak banyak sisa makam yang masih terlihat di lingkungan Jarak-Dolly. Salah satu yang selamat adalah makam leluhur Sampoerna. Keluarga berhasil mempertahankan makam itu sampai sekarang.
Dua tahun setelah peristiwa berdarah itu, sejarah Dolly dimulai. seorang pelacur bernama Advenso Dollyres Chavit membeli tanah bekas makam di area Kupang Gunung. Dia mendirikan rumah bordil pertamanya di gang yang kelak dinamai Gang Dolly.
Dia mengumpulkan duit dari kompleks pelacuran Kembang Kuning selama hampir delapan tahun. Tante Beng adalah germo yang mengasuhnya. Dialah yang mengajarkan cara mengelola bisnis prostitusi.
Gadis asuhan Dolly punya reputasi tinggi di kalangan pria mursal. Service yang diberikan lebih oke ketimbang pelacur di lokalisasi lain. Lambat laun nama Dolly jadi tersohor.
Sumber: