Masjid Kami Dilempari Tinja

Masjid Kami Dilempari Tinja

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag

Filename: frontend/detail-artikel.php

Line Number: 116

Backtrace:

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view

File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once

Usaha pelacuran berkembang pesat. Aset Dolly berkembang dari satu wisma berkembang jadi empat. Yakni Wisma Istana Remaja, Mamamia, Nirmala, dan Tentrem. Masing-masing punya 28 pekerja seks komersial (PSK).

Pada 1968 hingga awal 1970 banyak investor masuk. Wisma semakin menjamur hingga ke barat. Meluas ke Putat Jaya dan Jarak. Kemaksiatan semakin mendekat ke tempat tinggal Haji Umar.

Ia jelas sangat terusik dengan bisnis pelacuran itu. Namun dakwah justru harus lebih gencar untuk meredam lokalisasi. Saat Dolly mulai berkembang ia mendirikan masjid pertama di kawasan Putat Jaya. Masjid itu diberi nama Baitul Hidayah.

Bangunannya didirikan di atas tanah musala yang sudah tidak terawat. Haji Nu’man menyaksikan pembangunan masjid itu. Ia jadi teringat masa kecilnya. “Abah bangun masjid, saya masih TK,” ujar Dosen Bahasa Arab UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut .

Masjid dibangun di Gang VI Putat Jaya. Tak jauh dari Pesantren JeHa. Orang menamainya gang pasar. Sebab, sebelum ada masjid dan permukiman, gang tersebut adalah pasar. Karena pasarnya sudah tidak ada, orang sering bingung mencari alamat masjid itu.

Intimidasi dan ancaman mengiringi pembangunan masjid itu. Sebab banyak eksponen PKI dari Blitar dan sekitarnya yang bermukim di sana. Mereka terusik dengan gerakan dakwah Haji Umar. “Gesekannya sangat terasa,” lanjut Kiai Nu’man.

Haji Umar dan saudara-saudara yang ia boyong dari Gresik tak gentar. Ia justru mendirikan sekolah TK, SD, dan SMP Bahrul Ulum setelah masjid jadi.

Kalau mau cari aman dan untung, ia bisa mendirikan sekolah itu di kampung halamannya di Leran, Gresik. Namun orientasinya bukan bisnis. Penghasilannya sebagai pedagang dan pengusaha tambah sudah cukup.

Ia mau berjuang di jalan dakwah. Toh di kampung halamannya sudah ada yayasan pendidikan yang dikelola Nahdlatul Ulama (NU) di sana. Sementara di Dolly belum ada yang memperjuangkan syiar Islam. “Kalau dakwah di Gresik, podo karo nguyahi segoro (sama seperti menggarami lautan, Red),” lanjut Nu’man yang duduk di samping sang adik: M. Rofi’uddin.

Maka Haji Umar dan seluruh keluarganya berbondong-bondong membangun yayasan itu. Anak dan keponakan yang masih kecil diajak ikut mengaduk semen dan ikut membantu pembangunan. Semua itu dilakukan agar semuanya merasa ikut membangun dan mewarisi perjuangan dakwah itu nantinya.

Namun, intimidasi datang bertubi-tubi. Sejumlah kelompok masyarakat tidak menginginkan adanya masjid dan sekolah Islam di sana. “Keluarga kami diteror. Sekolahan itu dilempari kotoran manusia,” kenang Nu’man.

Saat itu tempat pelacuran Dolly juga sudah buka. Gesekan dengan preman dan pengelola tempat prostitusi juga ikut menghangat. Jadi, musuhnya berlipat ganda.

Dalam perjalanannya, nama Dolly jauh lebih cepat melambung. Namun Umar dan keluarganya tetap istiqamah di jalan dakwah melalui Masjid Nurul Hidayah dan Sekolah Bahrul Ulum itu.

Namun ada rasa khawatir pada generasi penerusnya: Bani Umar. Sangat berat membesarkan anak-anak di poros kemaksiatan. Mau tidak mau, mereka harus hijrah. (*)

Sumber: