Kelihatannya begitu. Setidaknya, belakangan, sudah mulai banyak beredar stiker yang bunyinya begini: enak zamanku, tho?.
Bisa jadi, stiker itu menginspirasi penguasa kapan saja: memberangus demokrasi itu tidak apa-apa asal rakyat sejahtera. Dan, mengabaikan hak rakyat juga biasa saja untuk kemakmuran mereka. Toh, kelak, akan dipuji juga dengan stiker: enak zamanku, tho?.
Giyanto, sekarang, pengusaha parkir, security, dan jasa kebersihan. Di Jakarta. Sebelum Covid. Lalu, jadi karyawan lagi.
Covid telah menenggelamkan usahanya.
Di kampung halamannya, di Desa Sidomukti, Plaosan (lereng timur Gunung Lawu), ia juga pernah punya usaha batik.
Merek batiknya: Pring Sedapur (serumpun bambu). Itu menjadi batik khas Kabupaten Magetan. Yang pernah dikenakan Presiden SBY ketika berkunjung ke sana.
Saya pun baru tahu sekarang. Dari Giyanto itu. Bahwa batik corak Sidomukti yang legendaris itu berasal dari Desa Sidomukti-nya Giyanto.
Kelak, ratusan tahun kemudian, batik Sidomukti itu migrasi ke Solo dan dikenal sebagai batik Solo. Semoga yang punya Solo tidak tersinggung dengan klaim tersebut.
Masa remaja, Giyanto pernah juga jadi office boy. Sambil sekolah paket C SMP dan SMA. Ia rajin bekerja. Sampai kemudian jadi staf tata usaha. Sambil pula kuliah di Unitama Jakarta. Lulus S-1. Lalu jadi sekretaris kantor.
Di saat perusahaan tempatnya bekerja (milik Reza Khalid) berpatungan dengan perusahaan milik Mbak Mamik (salah seorang putri Pak Harto), Giyanto jadi sekretaris perusahaan gabungan itu. Lalu, jadi corporate secretary.
Tahun 1998 –dua tahun setelah Ibu Tien Soeharto wafat– Giyanto mengalami apa yang tidak ia sangka: bisa masuk kamar tidur Presiden Soeharto.
Di Jalan Cendana.
"Mbak Mamik minta saya mengajari Pak Harto menggunakan internet," ujar Giyanto. "Pak Harto ingin bisa membuka dan mengirim e-mail," ujarnya.
Seminggu lamanya Giyanto jadi guru internet Pak Harto. Sehari dua jam. Setelah duhur sampai asar. Pukul 13.00 sampai 15.00.
Seingat Giyanto, Pak Harto menggunakan komputer baru. Jenis PC. Lengkap dengan printer-nya. Giyanto lupa mereknya. Tapi, ingat harganya: Rp 40 juta.
Di hari terakhir sebagai guru, Giyanto mendapat empat hadiah dari Pak Harto: batu akik, pipa gading, keris, dan Al-Qur’an milik Bu Tien –yang ditandatangani Pak Harto.