AMEG - PESAWAT saya dibatalkan. Tengah hari itu. Kamis lalu. Itulah pintarnya grup Lion. Saya harus memajukan atau mengundurkan. Tanpa protes. Saya bisa memaklumi. Itulah bisnis: tidak boleh rugi.
Soal kepuasan pelanggan? Pandemi Covid telah mengubah doktrin itu. Posisi konsumen sangat lemah di masa seperti ini.
Padahal jadwal saya tidak mungkin maju atau mundur. Pagi itu saya masih harus menerima beberapa tamu. Termasuk podcast dengan Ketua Paguyuban Tulang Rusuk Surabaya (PTRS) Teguh Kinarto.
Saya juga tidak mungkin mengundurkan. Tiga acara sudah menanti di Jakarta. Apalagi sore itu juga saya harus kembali ke Surabaya lagi. Sudah ada acara menanti di hari Jumat pagi –di samping harus disiplin olahraga jam 05.30.
Maka saya pindah ke Garuda: 11.55. Sekalian kangen naik Garuda yang ternyata baik-baik saja –dengan penumpang nyaris penuh: sekitar 80 persen.
Seminggu sebelumnya jadwal pesawat saya juga batal. Juga grup Lion. Saya terpaksa maju jam 05.00. Sebenarnya terlalu pagi. Acara di Jakarta bisa dijangkau dengan pesawat jam 07.00 –sehingga tidak harus mengorbankan olahraga. Tapi tidak ada jadwal pesawat di sekitar itu. Sejak terjadi Covid jadwal penerbangan tidak sebanyak dulu lagi. Dulu, ada penerbangan Jakarta-Surabaya hampir setiap setengah jam.
Saya naik Citilink pekan lalu pagi buta itu –satu-satunya yang punya jadwal sepagi itu. Isinya: hanya 39 orang. Saya hitung satu per satu penumpang yang masuk: 38 orang.
Dalam hati, saya memuji Lion –meski mengecewakan. Dengan penumpang 39 orang seperti itu pasti rugi. Anda sudah tahu: 38 x Rp 700.000 tidak perlu tulis jumlahnya.
Padahal, Anda juga sudah tahu: bahan bakar untuk menerbangkan pesawat jenis Boeing 737 jarak Surabaya-Jakarta adalah: Rp 27.000.000. Atau sekitar itu. Bukankah penerbangan 1 jam 15 menit memerlukan bahan bakar 2,5 ton. Kalikan sendiri. Harganya 11.000/liter.
Saya tidak bisa tidur sepanjang penerbangan. Saya kasihan pada Citilink. Gara-gara teguh dengan janji sampai harus begitu rugi.
Seandainya Garuda atau Citilink tidak tepat janji, saya pun tidak akan ngomel: memang acara di Jakarta itu sangat penting, tapi yang benar-benar sangat penting hanya satu. Selebihnya hanya ''mumpung ke Jakarta''. Misalnya mengontrol proyek renovasi kantor ''move on'' saya: Disway National Network (DNN). Kan bisa dikontrol lewat WFH.
Di zaman penerbangan masih ramai, saya biasa mengejar pesawat jam 21.00. Agar kian banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan.
Kini tidak ada lagi penerbangan jam 21.00. Jam 20.00 pun tidak ada lagi. Yang jam 19.00 juga hilang. Penerbangan terakhir pukul 18.00. Padahal acara terpenting saya, di Gatot Subroto Jakarta, baru mulai pukul 16.00. Itu kalau tidak molor.
Saya coba cari cadangan: pesawat Jakarta-Solo. Dari Solo saya bisa ke Surabaya jalan darat: hanya 2 jam. Pesawat Jakarta Solo ternyata lebih sedikit lagi: berakhir lebih awal. Saya juga cari cadangan jadwal Jakarta-Semarang: bisa disambung jalan darat 3 jam. Justru ke Semarang berakhir pukul 16.00.
Saya tetapkan plan B: kalau saja tidak berhasil mengejar pesawat pukul 18.00, saya akan jalan darat lagi. Istirahat di Cirebon dulu sambil rapat di situ. Pukul 03.00 berangkat ke Surabaya. Lima jam kemudian, pukul 09.00, sudah bisa sampai tempat acara di Surabaya. Hanya saja, sekali lagi harus mengorbankan olahraga pagi: benci sekali.