Ternyata semua itu tidak perlu. Saya bisa pamit duluan dari acara terakhir di Jakarta. Pesawat jam 18.00 pun terkejar. Bahkan masih sempat menulis naskah Disway di ruang tunggu –yang banyak dikomentari sebagai tumben tidak bermutu itu.
Yang penting: olahraga pagi keesokan harinya tidak jadi absen.
Hari Jumat kemarin itu saya ditunggu di Lamongan: di sebuah desa yang saya belum pernah ke sana.
Pagi itu hujan lebat. Sejak sebelum senam dansa berakhir. Hujan yang merata. Tanpa hujan pun jalan menuju Lamongan selalu macet: ada perbaikan yang berbulan-bulan. Saya harus berangkat lebih awal: bila perlu salat Jumat di desa itu saja.
Memang akan ada waktu satu jam menganggur. Setelah salat Jumat. Tapi bukankah sesekali harus ada masa menganggur.
Meleset.
Lalu-lintas lebih berat dari yang berat. Akhirnya saya salat Jumat di satu desa sebelum lokasi: masjid Muhammadiyah. Saya tidak melihat ada perbedaan dengan masjid NU: semua jamaahnya pakai sarung. Sebelum bacaan surah pun imamnya juga membaca Bismillah.
Ohh… Ada. Tidak ada wiridan.
Begitu salat selesai, sang imam naik podium lagi. Ia menyampaikan pengumuman –entah apa, karena saya juga lamcing (habis salam langsung melencing pergi).
Saya terus menyusuri jalan desa itu. Pakai Tesla. Kanan kiri jalan terhampar tambak tradisional. Tidak habis-habisnya. Air hujan memenuhi kolam. Itulah ciri khas desa-desa di hampir seluruh kecamatan Turi.
Tambak.
Tambak.
Tambak.
Di musim hujan seperti ini memang tidak ada yang bisa ditanam di situ kecuali ikan. Genangan air terlalu besar di kawasan ini. Boleh dikata, air hujan dari seluruh Lamongan parkir di sini. Itu bukan genangan masa lalu. Itu genangan sampai masa kini.
Baru di musim kemarau, petani justru bisa menanam padi.
Tambak di kawasan Turi ini khas: tambak hybrid. Ikan dipelihara bersama dengan udang. Udangnya pun sudah udang masa kini: udang vaname. Yang lebih tahan penyakit.