Dari kakak sulung saya mendengar mbak Sofwati kawin dengan Mas Husein.
Di Samarinda saya kian terlibat di organisasi ekstra kampus. Ups, tidak saya sangka kakak kirim dokumen tebal lewat pos. Tumben. Saya buka kiriman itu. Isinya: materi pendidikan yang baru dia ikuti: pendidikan pers Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Saya disuruh masuk IPMI.
Diam-diam saya memang mengagumi kecerdasan dan keaktifan kakak saya itu. Saya pun bergabung ke IPMI. Lalu magang di media milik aktivis IPMI Samarinda, Alwi Alaydrus - -sekarang jadi ulama di Kaltim.
Suatu saat saya naik kapal laut: ikut pendidikan aktivis di Jawa. Sekalian mampir kampung, satu hari. Kakak senang saya menuruti keinginannyi masuk IPMI. Apalagi sudah magang di Mimbar Masyarakat Samarinda.
Kakak ternyata sudah punya anak: satu, laki-laki. Namanya Andi. Saya gendong ia. Saya ajak main ia. Hanya satu hari.
Saya juga bertemu Mas Husein. Masih juga selalu membawa badik. Saya pun kembali ke Samarinda. Putus hubungan lagi.
Kelak, dari kakak sulung saya dengar: Mas Husein diangkat jadi pegawai negeri dengan tempat tugas di Jambi.
Mbak Sofwati ditinggal dulu di Madiun –belum bisa ikut pindah karena terikat sebagai guru agama di SDN Negeri di Madiun.
Dari kakak sulung pula saya mendengar mbak Sofwati meninggal dunia. Di Jambi. Kabar duka itu baru sampai ke Samarinda hampir sebulan kemudian. Surat lewat pos adalah satu-satunya alat komunikasi saat itu. Sebenarnya ada juga telegram. Yang bisa sampai dalam sehari. Tapi saya tidak tahu mengapa hanya disampaikan lewat surat.
Kalau pun ditelegram, toh tidak ada yang bisa melayat ke Jambi.
Kelak, lebih 30 tahun kemudian, saya ke Jambi. Bikin perusahaan di Jambi. Kepada teman-teman di Jambi saya ceritakan: saya punya kakak yang dimakamkan di Jambi. Tapi saya tidak tahu di mana. "Suaminyi bernama Husein Roni. Pegawai kantor agama," kata saya. Tidak ada informasi lain lebih dari itu.
Ajaib. Teman-teman bisa menemukan makam kakak saya: di pinggir jalan besar menuju ke Bandara Jambi.
Dalam kunjungan berikutnya ke Jambi, saya ziarah ke makam kakak saya itu.
Mas Husein sendiri –minggu lalu saya baru tahu– tidak lama di Jambi. Setelah kakak meninggal ia minta pindah tugas ke kampung halamannya di OKU. Ia pulang kampung dengan anak tunggalnya yang baru berumur 3 tahun.
Sampai puluhan tahun berikutnya kami tidak berhubungan lagi dengan Mas Husein. Dari Dik Udin, saya dengar Andi menghilang dari rumah orang tua di OKU. Adik saya tahu itu. Mas Husein menghubungi adik: apakah Andi yang masih remaja kecil itu lari ke Magetan. Tidak.
Pekan lalu, ketika saya diundang makan malam di rumah bupati OKU, saya kaget. Senang. Seorang staf protokol bupati berbisik ke saya: "Pak Husein, ipar bapak, mau bertemu".