Menu Mandoti

Senin 21-03-2022,08:38 WIB
Reporter : Dahlan Iskan
Editor : Dahlan Iskan

Kebiasaan Bp. Husein membawa Badik ke mana-mana, walaupun di daerah perantauan, jelas terbentuk dari adat istiadat yang kuat di daerah asal beliau. Badik itu mungkin bisa berfungsi sebagai alat kerja, juga bisa berfungsi sebagai senjata untuk mempertahankan diri. Artinya kalau tidak bawa Badik bisa bahaya. Bagi kaum prianya. ……….. Zaman sekarang , padanan untuk Badik itu barangkali adalah Hp. Bagi sebagian kaum pria tidak bawa Hp itu bahaya. Kalau bepergian, adalah lebih baik jikalau istri yang ketinggalan. Hp tidak boleh ketinggalan. Bahaya. Lebih bahaya lagi, kalau Hp yang tertinggal itu dipegang istri. Hmmmmmm…..bisa dibayangkan kisah selanjutnya……

Lbs

Tp perlu d ingat pula perbedaan adat istiadat d masing2 daerah. Spt kata komentator disway, kalau d madura tdk bawa senjata ke mana2 d anggap sombong. Tp sebaliknya d desa Abah atau daerah saya. Membawa senjata ke mana2 itu aneh. Malah terkesan sombong, kayak mau nantang kelahi. Ya kecuali ke sawah atau ke kebun. Wajar bawa arit, celurit, atau parang…

Neo Mister Xi

"Jutaan orang bahkan tidak menyadari, lelaki selalu bawa senjata kapanpun di manapun". Wkwkwkkw….

Er Gham

Bawa senjata--- seperti badik--- itu seperti bawa nyawa kedua. Tingkat percaya diri bertambah. Ini seperti tentara bawa senjata. Senjata itu seolah olah hidup dan menemani yang bawa. Yang pernah latihan bawa senjata berhari hari, di tengah hutan, menempel di tubuh 24 jam, pasti bisa memahami.

Pryadi Satriana

"… lebih 30 th kemudian, saya ke Jambi …". Dan selama itu pula Sang Kakak menunggu Sang Adik datang nyekar … Saat baca Disway, Andi mungkin mbatin,"Nyari Ibuku aja setelah lebih 30 th. Nyari Bapak aja enggak, malah Bapak yg nyari, apalagi nyari aku … ". Hmm …, penyesalan SELALU datang terlambat! Salam.

Saridin

Di pedesaan Takeran, mungkin juga di pedesaan mana pun di muka bumi, bagi orang tidak mampu (baca: miskin), sekali orang memutuskan untuk merantau, atau melepas anak-keluarganya merantau, maka itu mungkin adalah terakhir kalinya mereka bersitatap. Sebab, kesempatan untuk kembali bertemu sangat ketjil.  Karena dalam perantauan, si anak yang merantau juga mendapatkan pekerjaan yang hanya tjukup untuk makan. Apalagi, jika kemudian dia berkeluarga dan beranak-pinak. Peluang untuk mudik hampir lenyap. Banyak  terjadi pada tetangga, dan saudara, yang menyebutkan anaknya atau keluarganya hilang, di Sumatra, atau Kalimantan, atau di tempat yg lain. Karena, memang tak ada peluang untuk berkabar.  Kadang ada kabar bahwa si anak/kerabat telah meninggal, entah kenapa dan bagaimana. Di suatu tempat, yang tak jelas juga koordinatnya. Nyaris tak ada ikatan emosional yang kuat bagi saudara sekandung. Kalah oleh keterbatasan hidup. Itu terjadi, bahkan hingga hari ini.  3-4 bulan lalu, kerabat saya, masih muda, mendadak pulang, setelah puluhan tahun hilang. Dia diantar polisi ke rumah, setelah menemukannya -dalam keadaan sakit parah- di terminal. Beberapa hari kemudian, dia meninggal. Semoga almarhumah Ibu Sofwati dan semua anak rantau di muka bumi, yang dipanggil oleh Allah untuk pulang tanpa/sebelum bertemu keluarganya kembali, dipeluk oleh Allah dalam Jubah Kasih dan SayangNya.

Zainal Arifin

isteri=bidadari.

kang asep

kak sofwati itu pengorbanannya buessar sekali utk suami. lbh mudah suami tetap kerja di jawa…   istri berkorban bawa anak sendiri ke jambi. meninggalkan semua … keluarga, pekerjaan, teman2, hobi, komunitas, budaya…  bayangkan kak sofwati itu pengikut liberal yg suka kebebasan. tp dia rela kebebasannya ditukar utk bs berkumpul dgn suami…..  para suami jgn tegaan gitu sama istri….. sayangi istri anda walau tdk cantik……krn mereka rela berkorban besar utk suami…

Tags :
Kategori :

Terkait