Ronald adalah ketua panti asuhan tempat bayi Budiman dititipkan saat itu.
Belum banyak yang bisa didapat untuk bisa sampai ke orang tua Budiman. Mereka kembali ke Belanda.
Keluarga Gerrie dan Han Wicher tidak hanya mengadopsi Budiman. Dua tahun kemudian mereka dapat bayi dari Jatim. Nasibnya lebih baik. Sang adik bisa menemukan orang tuanya. Di Surabaya. Mereka bertemu. Sekian tahun kemudian hubungan itu putus. Merepotkan sekali. Sang Adik kini jadi eksekutif bank besar di Belanda.
Sedang Budiman memilih jadi pengembara. Ia merantau ke Australia. Lalu ke Palestina. "Saya menjadi guru relawan di Ramalah," katanya. Lantas menjadi wartawan. Begitu banyak berita konflik antara Palestina dan Israel.
Modal kewartawanannya diperoleh saat SMA. Ia menjadi pengasuh koran sekolah. Termasuk belajar fotografi.
Di Palestina, Budiman sering berada di tengah konflik kekerasan. Ia menjadi biasa dengan gerakan intifada yang dilakukan anak muda Palestina.
Budiman juga meliput perang di Irak. Lalu ke medan tempur di Syria. Ke medan revolusi di Libya. Dan kini ke Ukraina. Ia menawarkan diri untuk membawa nama Harian Disway di Ukraina. Tentu Disway senang sekali.
Di Syria, Budiman sempat kena serpihan bom. Membuat luka melintang di bawah leher depannya. Ia pun dibawa ke rumah sakit. Dalam pemeriksaan itu diketahui: Budiman punya penyakit lain yang harus diatasi. Teroid. Harus dioperasi di Belanda. Berhasil –meski sempat kehilangan suara.
Sambil jadi wartawan, Budiman terus mencari orang tua aslinya. Ia beberapa kali ke Jakarta. Termasuk ke kampung di Tanah Abang itu. Akhirnya ia pun berhasil menemukan rumah orang tua aslinya. Sudah ditempati orang lain. Ada tetangga yang tahu persis ibunda Budiman. Namanyi: Esni. Sudah tua sekali. Dia adalah teman sepermainan ibu Budiman. Juga teman mengaji.
"Sudah pindah ke Tangerang," ujar Esni seperti ditirukan Budiman kepada Salman Muhiddin, wartawan Harian Disway. "Tidak tahu di Tangerangnya di mana," tambahnya.
"Saya ingin sekali mencari ke Tangerang. Tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Tangerang luas sekali," katanya.
Kesempatan mencari Sang Ibu terbuka. Budiman harus sering ke Indonesia: pacarnya tinggal di Surabaya.
Sang pacar, Ana van Valen, bekerja untuk Yayasan Mijn Roots di Surabaya. Ana juga seperti Budiman: bayi Indonesia yang diadopsi orang Belanda di masa itu. Ana pernah kawin dengan orang Belanda yang juga hasil adopsi dari Indonesia.
Saya tidak menyangka bisa bertemu bayi-bayi yang kami liput lebih 40 tahun yang lalu. Yang kini sudah begitu gagahnya. Dan cantiknya. Yang bayi-bayi itu kini mulai lagi belajar bahasa Indonesia di masa setengah umur mereka. Mereka ternyata juga sangat mencintai Indonesia.
"Kalau misalnya ada tawaran untuk mendapat paspor Indonesia, Anda pilih punya paspor Belanda atau Indonesia?" tanya saya.
"Sulit sekali menjawab," ujar Budiman. "Saya sama-sama mencintai Belanda dan mencintai Indonesia," tambahnya.