Kami pun makan siang dengan serunya. Sang Ibu-tua tidak perlu merinci apa saja yang kami makan. Tidak akan bisa. Hitungan porsinya rusak semua.
Yang penting kami senang bisa makan. Dan Sang Ibu-tua juga senang dagangannya laris. Kami juga
membeli sendok dan piringnyi.
Hanya saja saya tidak bisa membeli warung itu sekalian. Itu bukan hak miliknyi. "Kami numpang di sini," katanyi.
"Sudah berapa tahun?“
“Sudah 40 tahun“.
“Di mana anak-anak?"
"Yang perempuan, dua orang, jualan bakso. Yang laki-laki, satu orang, jadi tukang parkir," katanyi.
"Di mana suami?"
“Sudah meninggal lebih 35 tahun lalu," ujar ibu berdarah campuran Jawa-Madura itu.
Habis menyerbu warung itu, kami pun bisa ke Bangsring dengan gembira. Inilah pantai yang punya
sejarah kelam: ikannya punah dan terumbu karangnya hancur. Nelayan sendiri yang menghancurkan ''sawah-ladang'' mereka.
Waktu itu nelayan menggunakan bom dan kimia. Untuk mencari ikan. Hancur. Lingkungan rusak. Berat.
Hilanglah sumber mata pencaharian mereka.
Sampai, akhirnya, muncul ''pahlawan lingkungan'' di desa ini: Ikhwan Arief. Waktu itu 24 tahun. Baru lulus S1 dari Universitas Islam Malang.
Ikhwan justru putra tokoh nelayan di sana. Ayahnya pemilik lebih 30 perahu nelayan. "Ayah saya