Hanya sebagai komparasi, sebab asal kata "demokrasi" yang diteriakkan aktivis kita, asalnya dari sana. Juga kata "anarki", yang dikhawatirkan pemerintah kita, asalnya juga dari sana.
Sehingga tidak adil, jika kita ogah dibandingkan dengan Amerika, tapi kita mau mengadopsi gerakan sosial itu, dari sana. Tidak adil pula, jika kita ingin kebebasan berbicara-berpendapat, tapi kita benci Amerika, sang inspirator kebebasan itu sendiri.
Persoalannya, tarif penyedia pendemo di Jakarta paling murah Rp35 juta untuk menyediakan 100 orang pendemo. Topik apa pun. Tarif including ikat kepala dan bus pengangkut pendemo (dalam kota). Tidak termasuk nasi bungkus dan seplastik teh tawar untuk masing-masing pendemo.
Dari perspektif pendemo, dapat nasi bungkus dan duit cepek, sudah lumayan. Dibanding kuli bangunan honor harian Rp125 ribu, tapi angkat berat, juga jarang-jarang ada.
Dalam kondisi masyarakat miskin harta, miskin ilmu, maka demonstrasi sudah terlepas dari ruhnya, demokratisasi.
Karena kata "demokratisasi" artinya transisi dari rezim politik otoriter menuju demokratis. Dan, ini dipahami dengan benar sarjana FISIP jurusan Ilmu Politik, S-1. Yang, malah di atas rata-rata lama pendidikan Amerika, D-2.
Sekarang kita berpikir tipis-tipisan saja. Tipis-praktis. Demo membuka lapangan kerja baru. Bagi para pelaku lapangan.
Sebaliknya, dari sudut pandang pengerah demo, sekarang-lah kesempatan memanfaatkan sumber daya demo. Sebelum tingkat pendidikan (dan kesejahteraan) rakyat naik. Suatu saat kelak.
Kejamnya dunia…
Seumpama kita mikir ideal, pendemo mesti paham topik demo, akibatnya pendemo malah berontak. Balik lagi ke pembuka tulisan ini. Pendemo bakal mendemo saya, begini:
"Lha… kalo nunggu sekolah tinggi, trus kapan giliranku demo? Orang, kok gak boleh demo." (*)