Menurut teori ekuitas, nilai suatu ekuitas dihitung dari input individu dan dampak yang dihasilkan.
Gampangnya begini: Semakin banyak seseorang berkorban terhadap pasangannya (traktir makan, belikan baju, belikan motor, mobil, rumah) otomatis orang itu berharap imbalan kasih sayang yang kurang-lebih sebanding dari pasangan. Ini kodrati manusia.
Pada riset tersebut, dirinci nilai ekuitas. Dirinci pula tingkat kebencian. Berbentuk kualitas dan kuantitas. Hasilnya terbukti sebanding, antara tingkat ekuitas dengan kadar benci. Detilnya panjang dan rumit. Karena dilengkapi argumentasi tingkat pembobotan.
Dalam bahasa sehari-hari: "Gue udah habis banyak, ee… die berkhianat. Dasar…"
Jika hubungan asmara mereka putus akibat pengkhianatan, dan pengkhianatnya adalah orang yang selama ini banyak menerima pemberian, maka tingkat kebencian si pemberi naik, dibanding tingkat kebencian si penerima.
Jadi, semakin tinggi cinta seseorang terhadap pasangannya, semakin banyak investasi psikologis yang ia tanamkan.
Ketika hubungan itu putus, akibat apa pun. Maka, masing-masing individu langsung mengkalkulasi. Hitung-hitungan. Apa saja yang sudah ia berikan. Semakin banyak memberi, semakin nyesek.
Sebaliknya, individu yang selama hubungan banyak menerima pemberian, juga benci. Juga dendam. Tapi level kebenciannya lebih rendah dibanding individu pemberi.
Memang, kebencian bakal surut. Saat seseorang mengikhlaskannya. Proses surut ditentukan oleh: Tingkat keimanan (agama), juga oleh waktu, kedewasaan, kesibukan, dan tentu saja seperti lagu Didi Kempot: "Pamer Bojo" anyar.
Di kasus tragedi Pesanggrahan, tidak diungkap, sedalam apa cinta AB terhadap korban EYW? Berapa nilai "Persepsi Ekuitas"?
Juga, mengapa AMK membacok EYW sampai begitu parah, padahal tidak ada bayaran? Juga, AMK toh mantan pacar AB, mengapa ia mau disuruh AB bertindak yang mengarah pembunuhan?
Kasus itu cuma contoh kecil dari 'anak-anak kecil'. Tapi bisa juga menimpa 'orang-orang besar', dengan eskalasi heboh nasional. Internasional.
Karena, cinta asmara punya kenikmatan, sekaligus kepahitan. Seperti bunyi sajak Kahlil Gibran:
Apabila cinta memanggilmu, ikutilah dia. Walau jalannya berliku-liku.
Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah. Walau pedang tersembunyi di sela sayap itu, melukaimu. (*)