Di Tragedi Kanjuruhan, ditambahi satu unsur lagi: Pertandingan berlangsung di wilayah Aremania: Malang. Sehingga begitu Arema FC kalah, Aremania sangat frustrasi.
Rasa frustrasi, ditambah sikap 'gunggungan' (lebay) karena ditonton sekitar 46 ribu orang, membuat secara tidak disadari, penonton mengolok tim Arema FC.
Intensitas naik. Dilanjut, mereka melempar botol minuman ke arah pemain dan official Arema FC. Lemparan itu kian gencar. Memicu penonton meloncat, turun ke lapangan. Dalam sekejap semakin banyak yang turun ke lapangan.
Massa yang turun lapangan, dihadang polisi dan TNI. Terjadi keos di lapangan. Sementara, di tribun puluhan ribu orang seperti siap meloncat turun ke lapangan, membela Aremania di lapangan.
Situasi ini diterjemahkan polisi sebagai: Bahaya. Dalam hitungan detik, diputuskan polisi: Menembakkan gas airmata ke arah tribun. Menghambat. Supaya puluhan ribu orang itu tidak turun. Karena, para pemain sedang berada di kamar ganti. Terancam bahaya.
Akibatnya, mereka yang turun ke lapangan selamat. Sama sekali tak ada yang cedera. Kecuali lecet dipukul pentungan polisi dan TNI.
Sedangkan, mereka yang di tribun, berdesakan keluar melalui pintu yang terlalu kecil untuk ukuran begitu banyak orang. Berhimpitan, dalam tempo sangat cepat.
Di situ tragedi. Orang mati terinjak-injak. Gegara sesak napas, menghindari gas airmata.
Kronologi dan teori di atas mestinya jadi pelajaran penyelenggara laga bola. Juga aparat keamanan. Terutama, masyarakat calon penonton bola. (*)