Hector Chumpita: "Kami lihat, ada satu penonton lari masuk lapangan. Kemudian kami ketahui namanya: Bomba. Lantas ada satu penonton lagi menyusul masuk lapangan. Kemudian kami ketahui namanya: Edilberto Cuenca. Mereka mendekati wasit, lalu protes keras."
Pada saat yang sama, sejumlah polisi lari masuk lapangan. Mereka mengejar dua penonton yang sudah telanjur masuk lapangan.
Penonton Bomba memukul wasit. Dalam sekejap, belasan polisi menyeret Bomba dan penonton Edilberto Cuenca, keluar lapangan. Kelihatan jelas, polisi memukuli dua penonton itu. Secara brutal.
Hector Chumpita: "Akibatnya fatal. Ratusan penonton meloncat, turun ke lapangan. Seketika itu juga kami, para pemain diamankan polisi. Kami selamat. Tapi ratusan orang mati di peristiwa itu."
Menurut laporan resmi, korban tewas 328 orang. Tapi, kemudian diketahui lebih dari 360 korban tewas. Sebab, korban tewas yang ditembak polisi dengan peluru tajam, mayatnya hilang diambil polisi.
Penonton bernama Jose Salas, suproter fanatik Peru, menceritakan: "Ketika ratusan, mungkin ribuan, orang masuk lapangan, polisi panik. Mereka menembakkan gas airmata bertubi-tubi. Lalu, massa berubah menyerang polisi. Saya dengar, ada letusan tembakan yang bukan gas airmata."
Jose Salas bersama ribuan orang, lari dari tribun, turun menuju pintu keluar (Gate 12). "Saya bukan yang paling depan, tapi di tengah-tengah. Ternyata pintu terkunci. Sehingga, orang yang berada di depan tergencet di pintu oleh desakan massa dari belakang," ceritanya.
Dalam kondisi mentok, kemudian massa berbalik. Lari, kembali menaiki tangga ke arah tribun lagi. Meskipun di dalam ramai tembakan peluru tajam dan gas airmata.
Jose Salas: "Dalam kondisi gelap oleh asap, ternyata kami bertabrakan dengan massa yang lari dari arah tribun, turun menuju pintu keluar Gate 12. Tabrakan hebat. Di situ banyak yang mati terinjak-injak."
Jose Salas berada di tumpukan orang. Beberapa hidup. Beberapa,yang paling bawah, mati. Jose terinjak-injak juga. Ia pingsan. Tahu-tahu, ia sudah berada di rumah sakit. Beberapa tulangnya patah.
Beruntung, Jose masih hidup. Sampai dengan ia diwawancarai wartawan BBC, Piers Edwards yang menulis berita ini, pada 50 tahun kemudian (23 Mei 2014).
Kejadian itu menimbulkan kontroversi puluhan tahun di Peru. Sebab, polisi selain menembakkan gas airmata, juga menembak peluru tajam. Akibat tragedi itu, puluhan polisi diadili, dan dihukum.
Tragedi Kanjuruhan, kini mulai diusut TGIPF. Media massa asing memuat tragedi ini sebagai tragedi bola dengan jumlah korban terbesar ke dua, setelah Tragedi Peru.
Indonesia berduka. Semoga ini jadi pelajaran penting bagi kita semua. (*)