Toni punya grup 3 orang. Semua dari OKU. Ia sendiri jadi teroris karena terpengaruh jaringan yang lebih besar.
Kini rumah Toni yang sederhana merangkap jadi perpustakaan. Anak-anak sekitar membaca buku di situ. Banyak buku cerita anak-anak kiriman Shofa. Juga buku-buku ilmu sosial. Hanya sedikit buku agama. "Kalau banyak membaca buku agama malah gaduh," ujar Shofa
Shofa punya kegiatan yang sama di Palembang. Juga di Cirebon. Di Jateng. Total ada 42 mantan teroris yang kini tergabung dalam Rudalku. Di banyak daerah.
Dengan perpustakaan rumah itu, Shofa ingin mengikatkan para mantan teroris ke ikatan rumahnya. Agar kerasan di rumah. Homing. "Begitu banyak ajaran hadis yang menyebutkan perlunya kembali ke rumah," katanya.
Bagaimana para mantan teroris itu bisa percaya pada Shofa? "Mungkin karena mereka melihat saya tidak punya agenda tersembunyi apa-apa," ujar Shofa. "Pasti mereka sudah mengecek latar belakang saya. Dan saya bukan jenis orang yang dipakai," tambahnya.
Tentu awalnya mereka mencurigai Shofa sebagai intel. Lama-lama mereka tahu Shofa itu murni peneliti. Ketika ke Jakarta mereka juga mampir ke rumah Shofa. Di bilangan Pasar Minggu. Yakni di rumah berukuran 230 m2 yang dibeli istrinya secara cicil. "Sekarang hampir lunas," katanya lantas tersenyum.
Mereka pun tahu di rumah Shofa penuh buku. Penuh sekali. Itulah, katanya, harta paling berharga di rumahnya. Komplet. Buku-buku agama, buku filsafat, hukum, dan ilmu sosial.
Shofa ingin seminggu sekali ada review buku dari para mantan teroris itu. Dibuatkan videonya. Satu orang sudah mengirimkan review itu ke Shofa. Lalu Shofa mengunggahnya ke YouTube. Ada juga yang membuat video tentang Rumahku Bukuku. Lalu dikirim ke Shofa.
Untuk mengirim buku ke mereka, Shofa mendapat bantuan buku. Tapi untuk perjalanan menemui mereka Shofa menggunakan uangnya sendiri.
Langkah baru Shofa lainnya adalah: kajian buku. Ia memilih kajian ushul fikih. Bukan tafsir Quran, bukan hadis, dan bukan pula tauhid.
Dalam bahasannya itu Shofi malah tidak menyinggung sama sekali ayat-ayat terkait radikalisme. "Mereka justru akan bilang, 'itu kan tafsir Anda' begitu," ujar Shofa.
Dengan kajian buku ushul fikih, mereka menjadi tahu bahwa untuk menafsirkan satu ajaran itu tidak mudah. Perlu banyak bacaan. Perlu banyak ilmu pendukung. Perlu nahwu dan shorof.
Dengan demikian mereka tidak mudah lagi menafsirkan Quran sesuai dengan pikirannya. Terserah mereka mau menafsirkan apa saja asal sudah tahu syaratnya. Dengan demikian mereka tidak mudah disodori tafsir tertentu.
Kini kajian ushul fikih itu dilakukan secara online. "Mereka tertarik. Ternyata mereka tidak pernah belajar ilmu ushul fikih," ujar Shofa.
Shofa sudah menulis banyak buku. Tapi ia lagi menyiapkan satu buku lagi. Tebal. Penting. 700 halaman lebih. Ia buat buku terbarunya itu nanti sebagai monumen hidupnya. Itu akan menjadi karya ''master peace'' dalam hidupnya. Ia sudah punya judulnya: Risalah Jihadis.
Belakangan Shofa mulai aktif di NU wilayah DKI Jakarta. Ia jadi pengurus lembaga bahtsul masail. Yakni forum yang membicarakan posisi kasus-kasus masa kini dalam hukum Islam.