Anak Fatia yang masih TK juga hampir diculik oknum. Untung, guru TK-nya langsung menarik anak itu. Fatia akhirnya mengirim anak itu ke rumah ibunya.
Ancaman tidak hanya datang dari orang tidak dikenal. Selepas melapor ke Presiden B.J. Habibie, Fatia dipisahkan dari tokoh-tokoh wanita yang sama-sama menghadap presiden. Lalu, diajak ke ruang terpisah di istana. Di situ ada tiga jenderal, termasuk jenderal polisi.
"Di tengah-tengah jenderal itulah, saya dituding dan diancam oleh Jenderal Sintong Panjaitan. Saya dikatakan sebagai orang yang menjelek-jelekkan Indonesia di dunia internasional," ujar Fatia.
Fatia pula yang mengantar jenazah Ita ke tempat kremasi. Memandikan. Menunggu kremasi selesai. Mengambil abunya. Menaburkannya di laut Tanjung Priok.
Fatia sendiri mengaku kehilangan jejak di mana mama dan papa Ita sekarang. Kakak Ita pernah bersaksi di kepolisian
bahwa Ita bukan mati dibunuh dengan motif politik."Saya bukan ketua Komnas Perempuan," ujar Fatia mengoreksi Disway kemarin. "Saya salah satu pendiri Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Kemudian, menjadi komisioner tahun 1998–2006," katanyi.
Ketika peristiwa Mei 1998, Fatia adalah ketua Kalyanamitra. Yakni, sebuah LSM perempuan. Yang melakukan advokasi anti kekerasan terhadap perempuan dan hak-hak perempuan. "Mei 98 saya diangkat menjadi ketua Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan," ujar Fatia. Tugasnya, mendampingi dan mendokumentasi pemerkosaan Mei 98 dan membawa kasus tersebut ke komisi tinggi HAM PBB di Jenewa, Swiss.
Fatia lantas aktif di dunia advokasi perempuan internasional. Empat tahun lalu Fatia dan suami pindah ke kota kelahiran: Jogja. Sampai sekarang.
Suami Fatia memang, juga, kelahiran Jogja. Anda sudah tahu siapa beliau: Hersri Setiawan. Kini 85 tahun. Beliau adalah seniman, penulis, dan aktivis kebudayaan. Hersri sembilan tahun ditahan di Pulau Buru –bersama, antara lain, sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Tanpa diadili.
Hersri dianggap terlibat pemberontakan G-30-S/PKI. Ia adalah ketua Lekra Jateng –lembaga kebudayaan yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia. Tidak lama setelah keluar dari Pulau Buru, Hersri hidup di Belanda. Sendirian. Istri Hersri sudah meninggal 18 tahun sebelumnya. Saat itu Fatia juga lagi kuliah di Belanda. Keduanya kemudian menikah di masjid di Amsterdam.
Hersri melahirkan banyak karya tulis. Termasuk yang terkenal berjudul Negara Madiun?. Dengan latar belakang seperti itu, Fatia memang tidak lagi takut apa pun. Ia akan terus memperjuangkan korban kekerasan Mei 98 dan kekerasan mana pun terhadap perempuan. Termasuk kekerasan serupa terhadap wanita Aceh, Timtim, dan Papua. Tapi, yang dilakukan Harjanto di Semarang agak berbeda. Lewat rujak pare dan sambal jombrangnya itu. "Realistis saja, sulit untuk mendapat pengakuan pemerintah soal kebenaran Mei 98. Yang seperti itu tidak hanya di Indonesia. Pun di Amerika," ujar Harjanto.
Ia juga menyadari setiap pergantian kekuasaan selalu ada korban. Besar maupun kecil. Apalagi, Mei 98 adalah pergantian dari kekuasaan mutlak yang panjang.
Maka, Harjanto memilih mencari pengakuan dari hati nurani masyarakat saja. Lewat rujak pare dan sambal jombrangnya itu. (*)