FPL juga meminta pemilik wisma memasang bendera setengah tiang (half mast). Tradisi itu biasanya dilakukan sebagai tanda penghormatan atau berkabung.
Mereka menganggap tradisi yang dimulai sejak abad ke-17 itu cocok untuk menggambarkan situasi yang mereka alami. Lokalisasi Jarak-Dolly dan pelaku usahanya akan “dieksekusi mati”.
Mereka menganggap pemerintah tak punya hati nurani. Penutupan tidak diikuti dengan solusi. Rantai perekonomian di pusat prostitusi itu begitu kompleks.
Jika lokalisasi ditutup, yang kehilangan mata pencaharian tidak hanya PSK. Tetapi juga pemilik jasa parkir, toko, warung, laundry, hingga tukang becak, dan ojek.
Katanya, perputaran uang di Jarak-Dolly selama semalam bisa mencapai Rp 1 miliar lebih. Kalau ditutup mereka mau makan apa? Faktor ekonomi itu selalu digaungkan aktivis pro lokalisasi. Sudah ada yang mendapat pendampingan dari pemkot. Tapi, belum semua.
Hari silih berganti, eksekusi kian mendekat. Sehari sebelum ditutup, FPL bersatu di posko. Mereka mengikatkan kain merah bertulisan “Barisan Bintang Merah” di kepala.
Sementara itu aparat gabungan dari TNI, Polri dan Satpol PP berjaga di Islamic Centre di Dukuh Kupang. Jarak markas kedua pihak itu hanya 200 meter. Sangat rawan bentrok.
Saat suasana semakin panas, santri-santri JeHa ternyata tetap aman di pesantren. Prediksi Kiai Nu’man benar. Tidak ada yang berani mengusik para santri sampai hari itu. “Karena urusannya tidak hanya dengan kami nanti. Tapi dengan wali santri dan komunitas,” kata dosen yang juga wirausahawan itu.
Terlalu banyak musuh yang dihadapi FPL. Jika mereka mengusik para santri, maka musuh mereka semakin bertambah. Pemerintah juga punya alasan tambahan untuk menutup Dolly. (*)