Polemik Dana Haji, Ini Pemikiran Akademisi UB
AMEG - Pengumuman pembatalan keberangkatan jamaah calon haji menuai polemik dari masyarakat. Untuk kedua kalinya, masyarakat Indonesia gagal berhaji. Pembatalan ini pun memunculkan berbagai isu yang viral di media massa dan media sosial. Tidak sedikit isu tersebut menstimuli mengalirnya hoaks.
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya (UB) penyandang PhD dari Edith Cowan University Western Australia, Rachmat Kriyantono, menyebutkan. Jika hal ini membutuhkan Komunikasi Finansial Terintegrasi
"Intinya hal ini membutuhkan Komunikasi Finansial Terintegrasi. Pembatalan ini memunculkan berbagai isu yang viral di media massa dan media sosial. Tidak sedikit isu tersebut menstimuli mengalirnya hoaks."
" Isu tersebut menyebut pembatalan haji karena kekurangan dana haji, pemerintah tidak mampu melobi pemerintah Arab Saudi, pemerintah masih mempunyai utang kepada Arab Saudi, pemerintah bersembunyi di balik pandemic Covid, pemerintah terburu-buru," tegas Rachmat Kriyantono.
Dari semua rumor tersebut, dana haji tampak yang menjadi isu tahunan karena beberapa faktor. Pertama, keuangan merupakan isu yang paling penting di era demokrasi yang membuat masyarakat menjadi ‘armchair auditors’ (selalu mengamati sampai seakan tidak beranjak dari kursi).
Kedua, kasus-kasus korupsi terkait dana haji di masa sebelumnya masih hadir dalam ingatan publik. Meski indeks persepsi korupsi Indonesia makin membaik, yakni 40 pada 2020 (meningkat terus dalam empat tahun terakhir), namun masyarakat tetap banyak menganggap korupsi sebagai budaya.
Ketiga, kepentingan politik oposisi. Oposisi formal, seperti partai oposisi menggunakan isu dana haji ini sebagai key-message menyerang pemerintah, yang menggerakkan oposisi no formal di media massa.
Makin kentara karena polarisasi politik hingga saat ini masih terbangun di masyarakat. Keempat, di manapun, pemerintah tetap memiliki ‘negative-stereotype’, seperti birokrasi lamban, mempersulit, dan tidak transparan yang makin terakumulasi dengan isu dana haji ini.
Meski sudah menjadi isu tahunan, pemerintah masih tetap lebih dominan sebagai ‘tukang pemadam kebakaran’, yang baru aktif mengklarifikasi setelah isu muncul dan berkembang menjadi rumor dan hoaks.
Klarifikasi ini tampak kurang efektif karena sudah terbangun opini menguat di masyarakat akibat terpaan informasi yang cepat dan terus-menerus di media sosial.
Rumor, hoaks, dan stereotipe negatif adalah produk komunikasi yang tidak sehat yang disebabkan manajemen komunikasi pemerintah yang juga kurang sehat.
Manajemen komunikasi yang tidak sehat karena masih bersifat tertutup, yakni tidak transparan dan tidak akuntabel. Semakin tertutup sistem komunikasi formal maka makin memunculkan sistem komunikasi tidak formal, seperti rumor dan hoaks.
Penanggung jawab manajemen komunikasi di lembaga pemerintah adalah Humas Pemerintah. Hal ini sebenarnya sudah dimuat dalam berbagai peraturan, seperti Permenpan-RB no 30 dan 31/2011.
"Tampaknya persoalan tahunannya pun masih sama, yakni Humas pemerintah belum diberdayakan dan belum memiliki kemampuan dalam memenuhi prinsip-prinsip manajemen komunikasi dalam peraturan tersebut. Secara struktur belum kuat dan secara fungsional, praktisi kehumasan pemerintah belum professional," tandas Pria alumnus FISIP Universitas Airlangga ini.
Terkait dana haji ini, mestinya pemerintah melalui fungsi kehumasan berposisi sebagai “tukang keker” yang mampu mengantisipasi isu, mengidentifikasi isu, dan mengelola isu agar tidak berkembang luas menjadi rumor dan hoaks.
Upaya yang dilakukan adalah dengan menata sistem komunikasi keuangan terintegrasi, yakni integrasi antara pendekatan akuntansi dan pendekatan humas.
Sumber: