Tanda Pangkat Polisi Dicabut Massa di Surabaya

Tanda Pangkat Polisi Dicabut Massa di Surabaya

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag

Filename: frontend/detail-artikel.php

Line Number: 116

Backtrace:

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view

File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once

Orang yang melakukan kekerasan terhadap aparat yang sedang bertugas secara sah, diancam hukuman penjara 1 tahun 4 bulan dan denda paling banyak Rp4,5 juta.

R. Soesilo dalam bukunya: "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, Lengkap Pasal Demi Pasal" (Politeia, 1991) menjelaskan itu, begini:

"Massa yang merebut orang yang ditangkap polisi, dari tangan polisi, adalah perbuatan kekerasan. Orang ditangkap oleh polisi, atau diperintahkan untuk ditangkap oleh polisi, adalah orang dalam penguasaan polisi selaku aparat. Maka, kekerasan (oleh massa) terhadap orang yang ditangkap polisi, atau termasuk terhadap polisi sendiri, adalah tindak kekerasan penganiayaan."

Artinya, masyarakat selain dilarang main hakim sendiri terhadap terduga penjahat, juga wajib mempercayakan orang yang terduga bertindak kejahatan, kepada polisi.

Anggota Polsek Tambaksari Aipda Joko Nugroho mengalami luka di wajah setelah menjadi salah sasaran amuk massa. (Sumber Foto: beritajatim.com).

Dilanjut: "Orang (massa) yang melawan harus mengetahui, bahwa ia atau mereka melawan kepada pegawai negeri, aparat (bisa dilihat dari pakaian seragam, atau tanda-tanda, atau surat legitimasi), tetapi tidak perlu bahwa orang itu harus mengetahui pegawai negeri itu sedang bekerja dalam melakukan pekerjaan jabatannya yang sah."

Intinya, kejadian seperti ini selalu berulang, sejak dulu sampai sekarang. Terbaru, terjadi pada Wiyanto Halim, 89, nyetir mobil sendiri, Minggu (23/1) pukul 02.00. Di Cakung, Jakarta Timur,

Kronologi kejadian versi polisi. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan, di konferensi pers, Selasa (25/1) menjelaskan:

Mobil Wiyanto melaju, dini hari itu. Di Jalan Cipinang Muara, menyenggol motor yang juga melaju. Wiyanto tidak berhenti. Ia dikejar pemotor, sambil teriak maling.

Kombes Zulpan: "Pemotor merasa dirugikan, karena mobil korban tidak berhenti."

Makin lama pengejaran, semakin banyak pemotor ikut mengejar. Semua teriak maling. Videonya beredar di medsos. Pengejaran berlangsung cukup lama. Mobil dikepung motor, kiri-kanan-belakang.

Mobil Wiyanto bukannya ke jalan besar, malah masuk jalan-jalan kecil di komplek industri Pulogadung. Akhirnya terjebak di Jalan Pulau Kambing. Berhenti.

Massa beringas memukuli kaca mobil dengan batu dan balok kayu. Pintu mobil dibuka paksa, Wiyanto dihajar. Lalu diseret keluar mobil. Dihajar. "Sampai kepalanya hancur," kata pengacara keluarga Wiyanto, Freddy.

Kemudian massa bubar, Wiyanto tergeletak, mobil hancur total. Polisi datang ke lokasi, membawa Wiyanto ke RS Cipto Mangunkusumo. Dokter menyatakan, Wiyanto sudah meninggal.

Ternyata, Wiyanto bukan maling. Mobil Escudo yang dikemudikan, terbukti miliknya sendiri.

Kejadian di Jalan Setro Tengah, Surabaya, massa sampai mencabut tanda pangkat tiga, dari empat polisi. Simbol polisi. Yang bisa ditafsirkan sebagai perasaan tidak suka massa pada polisi.

Sumber: