Minyak Belut
Maka saya pun melihat antrean truk yang panjang. Di pompa bensin. Di mana-mana. Di semua kota yang saya lewati pekan lalu. Mulai dari Lampung, Baturaja, Musi Rawas, Lubuk Linggau sampai Bengkulu. Mereka harus berjam-jam menunggu tangki pembawa solar tiba di stasiun pompa bensin.
Soal minyak goreng ini, awalnya Menteri Perdagangan M. Lutfi, punya kebijakan dua harga: Rp 14.000 untuk kemasan premium dan Rp 11.000 untuk kemasan sederhana dan curah. Pabrik minyak goreng mendapat subsidi Rp 3000/liter. Dananya dari iuran kelapa sawit. Sampai Rp 3,7 triliun selama 6 bulan pertama.
Lalu Mendag berubah: kemasan apa pun harganya dibuat sama, Rp 14.000. Pabrik minyak goreng tetap di subsidi Rp 3.000/liter tapi volumenya naik dua kali lipat. Yang premium pun disubsidi. Jumlah subsidinya mencapai Rp 7 triliun.
Bagi konsumen ini lebih bagus. Tapi bagi pabrik minyak goreng bertambah ruwet. Terutama pabrik minyak goreng yang tidak punya kebun sawit. Mereka harus mengurus jatah DMO dan DPO (Domestic Market Obligation dan Domestik Price Obligation). Berarti harus mengurus jatah itu sampai Kementerian Perdagangan.
Akibatnya fatal: produksi minyak goreng terganggu. Harga minyak goreng memang menjadi lebih murah. Tapi barangnya mulai hilang dari pasaran.
Maka aturan itu diubah lagi. Seperti yang berlaku sekarang ini: tidak ada harga eceran tertinggi. Harga minyak goreng kemasan premium dan sederhana dilepas. Silakan ikut saja dengan harga pasar. Hanya harga minyak goreng curah yang ditetapkan paling tinggi Rp 14.000/liter.
Akhirnya minyak goreng seperti didorong untuk menerima harga pasar bebas. Tanpa takut disalahkan sebagai penganut ekonomi liberal. Buktinya ada harga yang curah yang disubsidi.
Kelak tentu akan muncul atau dimunculkan citra negatif minyak curah. Misalnya: diragukan lagi keasliannya. Atau: sudah dicampuri cairan lain.
Mau tidak mau konsumen balik ke minyak goreng kemasan —meski harganya mahal. Lama-lama terbiasa.
Sungguh menarik mengamati taktik pemerintah untuk membawa masyarakat ke harga pasar —tanpa demo dan gejolak.
Tentu M. Lutfi adalah orang yang sangat pintar. Terutama kemampuan lobinya. Ia jadi Duta Besar Indonesia di Jepang di usia yang masih sangat muda. Lalu jadi menteri di zaman Presiden SBY. Dua kali pula: Menteri Perdagangan dan Ketua BKPM.
Di era Presiden Jokowi ia jadi menteri lagi. Hebat sekali. Padahal ia tidak berpartai. Ia alumni Purdue University yang terkenal itu. Ia juga putra seorang aktivis terkemuka: Firdaus Wajdi. Tokoh nasional HMI. Asal Minang. Yang ikut menggulingkan Pak Harto. Yang ikut menjadikan Gus Dur presiden Indonesia. Yang ikut meyakinkan Bu Mega agar mau menerima Pak Jokowi sebagai calon presiden dari PDI-Perjuangan.
Lutfi kini dalam pergulatan perdagangan yang sulit. Mungkin lebih sulit dari perjuangan politik ayahnya.
Minyak memang licin. Pun minyak goreng. Belut juga licin. Apalagi kalau kena minyak. Lutfi kini lagi berjuang menangkap belut berminyak. (*)
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul: Perang Terigu
Leong Putu
Sumber: