Dokter Sumpah

A PHP Error was encountered
Severity: Warning
Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag
Filename: frontend/detail-artikel.php
Line Number: 116
Backtrace:
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view
File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once
Setelah reformasi, pemerintah tidak boleh bersikap seperti itu lagi: dianggap intervensi dalam proses demokrasi. Hak semua warga negara untuk berkumpul, berserikat, berbicara, dan bersuara. Sejak itu hampir semua organisasi punya kembarannya. Kecuali IDI. Ups, ada satu lagi: INI –Ikatan Notaris Indonesia. Tanpa rekomendasi INI –seorang notaris tidak bisa buka kantor notaris.
Setelah reformasi, banyak juga yang membuat organisasi profesi sejenis dengan maksud semata-mata untuk ”mata pencaharian” –sampai mengorbankan kode etik. Akibatnya: penegakan kode etik menjadi sangat sulit. Bahkan, ada yang tidak punya kode etik sama sekali: bagaimana bisa menamakan diri sebagai organisasi profesi tapi tidak punya kode etik.
Maka, belum tentu banyak organisasi bisa lebih baik.
Itu di profesi wartawan.
Di pengacara juga begitu.
Untunglah, masih ada organisasi profesi wartawan dan pengacara yang baik –yang peduli pada kualitas dan penegakan kode etik.
Di pengacara, masih ada organisasi pengacara yang mengharuskan calon anggotanya untuk menjalani tes. Biarpun ia sudah sarjana hukum. Lalu, ada keharusan magang. Paling tidak dua tahun: di kantor pengacara. Bukan magang biasa, tapi magang beracara di pengadilan.
Setelah itu, barulah organisasi –seperti Ikadin, Peradi, dan beberapa lagi– mengeluarkan kartu anggota.
Dengan mengantongi kartu anggota itu, mereka bisa mendaftar ke pengadilan tinggi setempat: untuk disumpah.
Tidak ada izin praktik. Yang ada pengucapan sumpah itu. Pengadilan tidak akan menerima pengacara yang belum pernah disumpah di pengadilan tinggi (tingkat provinsi).
Di IDI, keharusan rekomendasi itu, saya kira, untuk ”menjamin” dokter tersebut memenuhi kualifikasi sebagai dokter. Tapi, terutama, agar dokter mau mengikatkan diri pada kode etik. Lalu, mau untuk diawasi.
Kode etik –sesuai dengan namanya– bukanlah UU, peraturan, atau pasal-pasal dalam hukum. Kode etik adalah etika, sopan santun.
Orang di luar IDI –atau di luar anggota organisasi profesi apa pun– tidak boleh mengenakan ukuran sopan santun kepada mereka. Sopan menurut A belum tentu santun untuk B.
Karena itu, kode etik harus lahir dari kesadaran orang yang berprofesi. Lalu, merumuskan kesadaran tersebut secara tertulis: menjadi kode etik. Untuk ditaati semua anggotanya.
Kenapa seseorang yang berprofesi perlu punya kesadaran beretika? Kenapa tidak cukup hanya taat pada hukum dan peraturan?
Sumber: