Korupsi Bogor dalam Teori Profesor dari Harvard

A PHP Error was encountered
Severity: Warning
Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag
Filename: frontend/detail-artikel.php
Line Number: 116
Backtrace:
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view
File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once
Seandainya pengakuan Ade di atas benar, maka Teori CMDA meleset. Karena di kasus ini, korupsi terjadi tanpa diskresi, atau keputusan akhir pejabat tertinggi.
Pengakuan Ade kepada pers itu akan didalami di penyidikan KPK. Kemudian akan dilanjut diungkap di persidangan, kelak. Walaupun, kecil kemungkinan audit BPK tanpa sepengetahuan bupati.
Tapi, Teori CMDA Prof Klitgaard, dikritisi Prof Matthew Caleb Stephenson dalam blognya yang dipublikasi 27 Mei 2014.
Prof Stephenson adalah guru besar ilmu hukum, spesifik hukum anti-korupsi dan akonomi politik di Harvard Law School (bagian Harvard University) Amerika Serikat.
Stephenson mengkritisi Teori CMDA secara hati-hati dan santun. Maklum, itu bagai forum antar profesor. Dan, di kalangan akademisi, kritik hal wajib. Bagian dari dialektika: Tesa - Anti-tesa - Sintesa.
Stephenson fokus ke akuntabilitas. Unsur "A" di Teori CMDA. Bahwa, meski ada akuntabilitas yang kuat, korupsi tetap bisa terjadi. Bahkan, lebih maju lagi, semakin kuat akuntabilitas, semakin kuat dorongan pejabat korupsi.
Ia memberi argumentasi di tiga penjelasan berikut:
1) Pejabat yang bertanggung jawab berada di bawah tekanan untuk menghasilkan hasil jangka pendek yang segera terlihat. Itu dapat menciptakan insentif untuk terlibat dalam bentuk korupsi dengan biaya jangka panjang (seperti sumbangan kampanye gelap) untuk memberikan hasil seperti itu.
2) Ketika pejabat tunduk pada “akuntabilitas yang berlebihan”, sehingga pejabat berpikir bahwa ia akan dipecat dari jabatannya, segera setelah terjadi kesalahan kecil (bahkan jika itu bukan kesalahan mereka). Maka, si pejabat bakal korupsi dalam gerak cepat. Mumpung belum dipecat.
3) Akuntabilitas terhadap bos birokrasi, bakal mendorong korupsi ke atas hierarki, dan terlebih lagi jika atasan (katakanlah, politisi) sebenarnya lebih korup daripada bawahan (katakanlah, birokrat). Maka meningkatkan akuntabilitas justru menimbulkan korupsi. Bukan oleh bos suatu birokrasi, melainkan oleh atasannya.
Diakui Stephenson, unsur akuntabilitas memang sangat penting mencegah korupsi. Walaupun, tidak signifikan.
Di kasus Bupati Bogor, memperkuat analisis Prof Stephenson. Bukti: Adanya akuntabilitas (BPK) justru mendorong terjadinya dugaan korupsi. Karena, terduga pelaku berpikir: "Gampang, semuanya bisa diatur."
Yang berarti Teori CMDA tidak berlaku di kasus Bupati Bogor. Tapi, teori apa pun bakal mati, jika hasil korupsi dibagi-bagi ke banyak pihak. Seperti itu. (*)
Sumber: