Demo Gugat
"Mestinya ungkapkan saja. Meskipun sensitif," katanya.
Tapi itu memang benar-benar sensitif.
Lalu soal minimnya dana Riset. Nidom mengakui. Setuju. Tapi peneliti yang sungguh-sungguh tidak boleh menyerah.
Nidom pernah mengalami sendiri. Saya sampai merinding membaca tulisannya.
Suatu saat ia terbentur persoalan: tidak punya uang. Padahal harus membeli beberapa alat penelitian. Ia tidak menyerah. Ia luncurkan surat ke satu lembaga di Jepang. Ia menawarkan diri untuk mengajar di sana. Gajinya akan digunakan untuk membeli alat penelitian.
Permohonan Nidom dikabulkan. Ia pun mengajar di Jepang selama dua minggu. Agar menghemat, ia membawa mie instan dari Indonesia. Tiap hari ia makan mie instan. Setelah dua minggu Nidom pulang bisa membawa uang sekitar Rp 100 juta. Ia beli peralatan yang dibutuhkan. Ia puas. Penelitiannya bisa berjalan.
Membaca kisah itu mestinya para peneliti yang demo. Tapi Nidom demo dengan caranya sendiri. (*)
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul Bukan Gugat
Jhelang Annovasho
Setelah lulus S2, sy bekerja sebagai dosen di kampus milik pondok di Lamongan. 2,5 tahun kemudian mulai masuk sebagai pegawai pemerintah di kampus di bawah Kemenag. Hasrat meneliti dan hendak menuju penerima Nobel, karena masih U30, tentu menggelora tinggi. Namun di tempat kerja, bukan itu yang menjadi prioritas. Yang menjadi prioritas adalah kestabilan tata kelola. Masih banyak kurang di sana sini. Itu yang ingin diperbaiki. Pimpinan lebih menyiapkan kami menjadi pemimpin masa depan kampus daripada menjadi ilmuwan top. Ilustrasinya begini: kakek saya adalah kuli pasar. Apakah kakek saya ingin supaya bapak sy jadi profesor atau milyader? Tentu ada keinginan untuk itu. Tapi itu tujuan yang terlalu besar langkah yang terlalu lebar. Kakek adalah orang yang realistis. Bapak sy hanya disekolahkan saja. Konsisten disekolahkan. Jadi guru SD. Ndak ndakik2, bisa stabil hidupnya. Barulah kemudian bapak saya merencanakan yang terbaik. Anak2nya disekolahkan. Dengan tujuan yang bisa digapai. Kalaupun nanti sy jadi profesor di usia 45 tahun, itu bukan cita2 yang tak terjangkau karena sy sudah memantapkan langkah ke sana. Tapi tujuan jadi profesor hanya akan menjadi kegagalan bila tujuan itu "dititipkan" ke bapak sy oleh kakek sy. . Dari situ saya belajar, kemajuan individu bisa saja dilakukan dengan cepat sepanjang umur seorang manusia. Prof. Mikra contohnya. Namun kemajuan suatu bangsa perlu dilakukan dalam beberapa generasi, tidak instan. Salam.
herry isnurdono
Abah DI itu kiblatnya USA, kalau ada kekerasan dengan senjata api. Anda pun sudah tahu. Sudah berapa kali ditulis di Disway. Tapi begitu ada berita dor dor an antar polisi, di rumah jenderal polisi belum juga ikut menulis di Disway. Nunggu sampai keluar tim investigasi bentukan Kapolri. Minimal nulis sedikit sewaktu menjadi sesuatu dulu. Ada sopir ada ajudan. Ada pengawalan. Kira2 kalau ajudan dan sopir tembak2 an jarak 7 meter, menang mana, si sopir atau ajudan.
Xabre Red
Ya beda, di US kan penembakan terbuka, siapa aja bisa liat, media bisa nembus, bisa di search comparing Disini itu penembakan tertutup, berita aja 3 hari kemudian, kecuali Abah turun langsung sih
Sumber: