Demo Gugat
Sejak zaman ikut baca Jawa Pos dari tahun 90an awal, sampai sekarang, kalau berita tentang alih nilai kurs, terbitannya akrab dengan kekeliruan seperti itu. Konsisten. Tadinya saya mengira ada masalah berhitung di penulisnya. Tapi bukankah tulisan harus diperiksa editor sebelum diterbitkan? Kalo koran ya lewat redaktur? Jadi dalam rentang minimal 30 tahun ini ada yang tidak berubah. Apa editornya? Apa Disway masih memakai kalkulator tinggalan Jawa Pos dulu? Lama-lama saya jadi berpikir, jangan-jangan memang bukan kekeliruan atau keterbatasan berhitung. Melainkan sebuah kesengajaan. Kesalahan yang dilakukan secara konsisten dan disuarakan terus menerus itu bisa diyakini sebagai kebenaran lho.. Begitu teori komunikasi back reverse yang sering dipakai dalam kampanye politisi hitam. Wkwkwkwk
thamrindahlan
Tri Dharma Perguruan Tinggi awak pikir masih relevan dilaksanakan oleh Institusi Universitas secara seiring sejalan. Ketika seorang sarjana sudah berstatus Alumni, beliau tinggal memilih ingin fokus di bidang pengajaran, pengabdian masyarakat atau penelitian. Biiznillah bisa jadi seorang generasi penerus Tan Malaka pada zaman nya. Intelektual hidup untuk generasi penerus bukan sekedar penggerus . Pantun Jum'at Berupaya menjadi insan bermanfaaf Selalu berbagi mengharap berkah Ketika berangkat Shalat Jum;at Siapkan uang untuk ber sedekah Salamsalaman
Juve Zhang
Bahas pistol pistolan saja Bah Disway, analisa sederhana ala warkop, kalau ketua Tim Investigasi yg di bentuk Kapolri, adalah bintang 3 yaitu Wakapolri, anggota Ka Bareskrim juga bintang 3, sudah jelas kemana arah pikiran pak Kapolri, . Silakan ditambahi oleh para " Sidney Sheldon" dan " Conan" ala warung kopi wkwkwkw
Sistop Tanjung
mungkin ga perlu nyrempet2 yg jendral itu, cukup keluarga korban, asal muasalnya juga kesediahan keluarga yg ditinggal, yg terpenting pembunuhan itu kejahatan yg luar biasa meski itu di negeri sendiri bukan di amerika
Sistop Tanjung
Maaf bah, biasanya kalau ada penembakan bahkan nun jauh di amerika disana jadi bahan tulisan yang infestigatif, kalau tembak2an di dalam negeri kenapa ga tertarik menulisnya y?
Mirza Mirwan
Profesor (emeritus) Dr.Frithjof Kuhnen adalah guru besar pembangunan pedesaan (rural development) di Georg-August-Universitat Gottingen (University of Gottingen) Jerman -- universitas yang berdiri sejak pertengahan abat 18 dan telah menghasilkan 44 penerima Nobel. Penyandang tiga gelar doktor -- salah satunya honoris causa -- itu telah melakukan penelitian di pedesaan berbagai negara berkembang. Anehnya, Pak Kuhnen ini berpendapat bahwa "the ultimate yardstick for measuring the succes of a university is the improvement in the lives of the people it serves." Jadi tolok ukur keberhasilan perguruan tinggi bukan dari banyaknya publikasi ilmiah di jurnal internasional, melainkan pada peningkatan taraf kehidupan masyarakat yang dilayaninya. Anda boleh setuju atau tidak setuju.
edi hartono
"Dahlan ki gak main." "Pagi2 kok nggremeng. Memang ada apa Gus?" Tanya Amien. "Nulis artikel kok isine setengah2. Gak tuntas." Ucap Gus Dur. Amien nyeruput kopi lalu mengambil lemper. "Dia nulis kalau Puruhito bilang tidak banyak yg mau ambil anggaran penelitian. Padahal kemarin protes anggaran kecil. Aneh to?" "Namanya juga provokator." Sahut Amien sambil ngunyah lemper. "Terus nyrempet2 Tri Dharma, gak dibahas tuntas juga. Terus nyrempet2 filsafat, gak tuntas juga." Protes Gus dur. "Namanya juga keminter." Sahut Amien masih menikmati lemper. "Kamu ini makan terus. Gelar mu kan Prof juga. Harusnya paham dunia penelitian dosen." Amien yg disenggol jadi serius. "Ya pasti dong Gus." Ucapnya. "Dosen itu bukannya gak mau ambil anggaran. Sebelum ambil proyek penelitian, mereka itu pusing duluan. Pusing bagaimana laporan penggunaan anggarannya. Kalau anggaran e besar siap2 nanti dicek BPK. Aneh to? Dosen kok digitukan." "Oo, ternyata urusan laporan duit. Tp kalau gak ada laporan, nanti mereka cepat kaya dong." Simpul Gus Dur. "Dah gak usah dibahas, Gus. Sebaiknya kita bikin penelitian sendiri saja." Ucap Amien. "Memang mau meneliti apa, Min?" "Saya penasaran. Besok nasib imin dan zul itu gmn ya? Mereka kan merebut partai dari pendirinya. Mereka nanti kualat atau tdk ya?" "Pean ki masih sakit hati to?" "Heleh, sama to? Kemarin sampean baper juga pas ingat imin." "Kalau urusan itu gak usah pake penelitian. Tanya Jibril saja. Langsung beres. Gitu aja kok repot…"
Pax Politica
"Dana riset 0,1 persen dari PDB… dan serapannya tidak terlalu besar", "menjadi peneliti murni tidak bisa untuk hidup layak", "PT tidak lebih daripada lembaga training kelas pekerja di masa depan". Semua pernyataan itu berpangkal pada pola pikir (sebagian besar) masyarakat Indonesia yang masih bertumpu pada kebutuhan tingkat pertama (dasar) dari kebutuhan manusia (menurut Maslow's Hierarchy of Needs): sandang, papan dan pangan, serta kebutuhan tingkat kedua: rasa aman yang kemudian melahirkan kebutuhan tingkat ketiga level rendah (membentuk kelompok/komunitas yg tersegregasi). Masyarakat kita masih fokus kepada itu karena pemerintah-pemerintah (daerah dan pusat) dan aparaturnya belum bisa menjamin itu. Kalo semua itu sudah bisa di gapai, maka seperti diluar sana, masyarakat akan bergerak ke kebutuhan tingkat tiga level atas: melihat semua anggota masyarakat/komunitas menjadi satu kesatuan dan mulai mengejar kebutuhan tingkat empat: keinginan untuk di hargai dan menghasilkan karya (berkarya) dan kebutuhan tingkat lima (akhir): menemukan jati diri.
Sumber: