Otopsi Ulang

Otopsi Ulang

DeniK

Jiwa jurnalistik Abah meronta-ronta. Ingin meliput peristiwa yang terjadi di Duren 3. Apa daya yang terlibat aparatur negara. Pasti banyak kendala. Mungkin juga disway jadi tinggal nama. Banyak wartawan muda tapi mereka kurang peka , mungkin karena terlalu banyak foya-foya. Yang di beritakan hanya kulit nya sahaja.

supri yanto

Demo yg atraktif, Demo yg inspiratif, Demo yg murni dr hati, U kemaslahatan ummat bumi, Bukan demo Abal Abal, Bukan Foundation Abal Abal, Yg meng andalkan anggaran, Pun sedekah dan jariah, Yg kapan itu TDK terlalu silam , Ditilep dan di embat tanpa hati, Duuhhh, rasanya " nggegirisi", Tega dan melas ati, Ampai Pak Prof pun hanya makan mie, Ampun,ampun,o begini to nasib Peneliti "kami". Semoga Demo Abah yg ber seri ini, Mengetuk hati, Penguasa Negri dan Penghuni Negri, O Indonesiaku, Jng kau ulangi ,kesalahan yg ber"tubi tubi" Selalu Semangat lah para "Peneliti", Engkau ditunggu Ibu Pertiwi.

Mirza Mirwan

Hanya meluruskan, sekaligus menambahkan. Pak DI menulis, "Juni kemarin transplantasi serupa berhasil dilakukan lagi. Sekaligus untuk dua orang. Kali ini di New York, USA. Di New York University. Yang melakukan: Dr. Nader Moazami….". Dua operasi transplantasi jantung babi di NYU Langone Health itu berlangsung tanggal 16 Juni dan 6 Juli (berselang 20 hari). Resipien yang 16 Juni adalah Lawrence Kelly, 72, veteran Perang Vietnam, dari Pennsylvania. Sedang resipien yang 16 Juli adalah seorang wanita mantan guru, Alva Capuano, 64, dari Stuyvesant Town, Manhattan, NYC. Berbeda dengan David Bennet dulu itu, yang jelas masih hidup, baik Pak Lawrence maupun Bu Alva sudah sama-sama meninggal, tepatnya "brain-dead" (mati otak). Juga sama-sama punya riwayat penyakit jantung cukup lama. Setidaknya sampai kemarin tubuh kedua resipien tidak memperlihatkan tetanda menolak jantung babi itu. Selamat pagi semuanya.

Jhelang Annovasho

Kenapa kok terkesan prof. Mikra digugat balik? Atau gugatan prof. Mikra sebenarnya didukung secara samar? Sebagai mahasiswa bidang fisika, sudah belasan tahun sy mengikuti tulisan beliau. Gugat yang diajukan Prof. Mikra mula-mula ya untuk dirinya sendiri. Sebagai doktor lulusan Jepang, bidang penelitian yg high-tech, tentu membawa dampak yang besar bagi nama institusi dan negara. Namun beliau sadar, banyak keterbatasan di bidang itu. Salah satunya analisis atomik yang harus dilakukan di luar negeri. Bukannya kita tak punya biaya. Banyak institusi dalam negeri punya alat canggih. Sekali beli bisa. Namun mudah rusak. Biasa perawatan dan biaya perbaikan bisa berkali lipat dari harga alat. Tidak praktis. Peneliti sekali mikir tindakan A ya harus segera dilakukan. Kalau ke luar negeri perlu pengiriman sampel dulu. Atau mengurus visa dan penerbangan dulu. Dalam beberapa hari ide sudah belok dan berkurang minat untuk terus riset. Kurang lebih saja seperti diagnosis kesehatan antara di Jakarta dan di Singapura. . Prof. Mikra berpendapat, tidak bisa secara kuantitas riset kita bagus dengan mengandalkan penelitian hi-tech. Tidak banyak terjangkau. Maka beliau punya ide. Meningkatkan kuantitas dari penelitian yang sederhana. Penelitian itu harus mengisi celah yang ada. Juga harus masuk jurnal internasional bereputasi. Ternyata ada jurnal dengan topik sederhana namun berdampak besar. Beliau sudah menemukan formula: penelitian yang bisa bagus secara kualitas dan kuantitas, murah juga.

*) Diambil dari komentar pembaca http://disway.id

Sumber: