Provokasi Warga di Kasus Lukas Enembe
Dari gerakan warga Papua melindungi Enembe, kelihatan bahwa mereka meniru gerakan serupa yang sering terjadi di Jawa. Jika ada tokoh masyarakat ditangkap aparat penegak hukum, malah dibela rakyat. Dengan slogan-slogan: Kriminalisasi.
Model begini, patut diduga, ada yang menggerakkan. Memprovokasi warga. Mustahil warga bergerak sendiri-sendiri tanpa ajakan, seruan, provokasi, diduga juga bayaran, dari pihak tertentu.
Logikanya, warga tidak paham persoalan perkara hukum yang sedang diproses, lalu dikompori seolah-olah penegak hukum melakukan kriminalisasi. Istilah 'kriminalisasi' pun, jadi populer.
Akibat akhirnya, cara begini ditiru warga Papua. Tepatnya, ditiru oleh pihak yang menggerakkan massa di Jayapura, Papua. Supaya membela tersangka korupsi. Dengan dalih, Enembe sengaja dimusuhi KPK.
Provokasi itu 'dilebarkan' lagi, menjadi isu: "Enembe tidak disukai pemerintah. Makanya, Enembe akan ditangkap."
Provokasi model ini langsung dipercaya warga. Ditelan mentah-mentah. Padahal, Enembe adalah Gubernur Papua, bagian dari pemerintah. Atau kepala daerah. Mana logikanya, pemerintah tidak menyukai pemerintah?
Law enforcement sudah dirusak oleh orang-orang di Pulau Jawa. Kerusakan itu sekarang ditiru warga Papua. Jadi meluas.
Seumpama KPK benar-benar khawatir menjemput paksa Enembe, maka ada dua kemungkinan:
Pertama, KPK memang tidak punya, minimal dua bukti hukum yang kuat dalam menetapkan Enembe sebagai tersangka.
Kemungkinan pertama ini sudah terbantahkan oleh pernyataan Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangan pers, Senin 19 September 2022, ia menyatakan:
"Kami memastikan bahwa setiap perkara yang naik ke tahap penyidikan, KPK telah memiliki minimal dua alat bukti yang cukup."
Dilanjut: "Kami tegaskan, KPK tidak ada kepentingan lain, selain murni penegakan hukum sebagai tindak lanjut laporan masyarakat."
Kedua, negara Indonesia sudah kalah dilawan preman. Meskipun tidak ada negara yang kalah dilawan preman, kecuali negara lemah.
Itu sebab, Kapolri mendukung, menyiapkan 1.800 pasukan polisi di Papua, seandainya KPK minta bantuan Polri untuk menjemput paksa Enembe. Sikap Kapolri ini menegaskan, bahwa negara tidak boleh kalah dilawan preman.
Perkara yang sesungguhnya sederhana, penyidikan dugaan korupsi biasa, yang sangat sering terjadi, di perkara ini berubah jadi rumit. Apalagi, sampai benar-benar melibatkan 1.800 polisi dalam proses jemput paksa Enembe.
Sumber: