Gading Wulan

A PHP Error was encountered
Severity: Warning
Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag
Filename: frontend/detail-artikel.php
Line Number: 116
Backtrace:
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort
File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view
File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once
INI bukan cerita bagi para penggila kuliner. Tidak usah dibaca. Ini khusus bagi jenis orang yang seperti ini: memuliakan tubuh dengan cara yang mulia.
Dia seorang dokter. Spesialis patologi klinis. Namanyi: Wulan. Sudah menjelajah daerah yang paling dihindari seorang dokter baru: Papua. Bukan Jayapura, tapi Wamena. Bukan di Wamena tapi di Kurima. Bahkan bukan di Kurimanya, tapi lebih dalam lagi: di Puskesmas Angguruk.
Pokoknya pedalamannya pedalaman Jayawijaya, Papua Tengah. Itu jauh sekali dari Wamena yang jauh itu. Masih harus naik pesawat kecil 45 menit lagi.
Dari sana Wulan pindah ke daerah yang juga tidak diharapkan siapa pun: pulau Rote di NTT.
Tapi Wulan menjalani semua itu dengan bahagia. Begitu tahu akan ditempatkan di Papua, Wulan minta sekalian lokasi yang tersulit dari yang paling sulit.
Tiga tahun Wulan di pedalaman Kurima. Hanya sekali pulang ke Kediri. Saking jauhnya.
Dari Kurima, Wulan masih ke daerah terpencil lainnya: di pulau Rote. Dua tahun lagi di sini.
Pilihan hidup Wulan awalnya ingin jadi arsitek. Sedang ibunyi sangat berharap Wulan jadi dokter. Wulan anak nomor 9 dari 10 bersaudara. Banyak kakaknya yang sakit-sakitan. Dari situlah keinginan sang ibu lahir. Wulan harus jadi dokter. "Saya lupakan arsitektur. Saatnya saya menunjukkan bakti ke ibu," ujar Wulan.
Wulan lulus tes di Universitas Brawijaya, Malang. Tidak terlalu jauh dari ibunyi di Kediri.
Setelah kembali dari Rote, Wulan mengambil spesialis patologi. Juga di UB Malang. Di kota Arema itu pula Wulan mendapat jodoh: dokter spesialis bedah jantung vaskuler.
Tapi bukan itu yang akan diceritakan hari ini. Itu tidak penting bagi pembaca yang suka durian. Tidak penting pula bagi yang suka makan Soto Banjar. Bakso Krian. Sate Tegal. Tengkleng Solo. Apalagi Nasi Kapau.
Wulan sendiri akhirnya menjalani hidup yang sebenarnya tidak dia inginkan: KetoFastosis. Yang awalnya begitu berat.
Semua itu demi kakak nomor 8. Yang hanya beda umur 1,5 tahun. Masih seperti sebaya. Seperti teman sepermainan. "Saya memang sayang sekali ke kakak nomor 8 itu," ujar Wulan.
Sang kakak sakit. Kanker pita suara. Awalnya suara sang kakak hanya berubah. Serak. Kian serak. Lalu suara itu hilang sama sekali.
Wulan sedih.
Sang kakak sendirian. Tidak mau kawin. Tidak ada yang merawat. Maka Wulan ingin merawatnya. Apalagi dia juga seorang dokter.
Dalam perjalanan Wulan jadi dokter dulu, kakaknyi yang menemani sang ibu. Pun ketika Wulan bertugas bertahun-tahun di wilayah nun jauh. Sampai sang kakak tidak kawin. "Kakak saya tidak mau kawin dengan alasan sayang ibu dan harus merawat ibu," ujar Wulan mengutip pengakuan sang kakak.
Sumber: