Tiga wisma di Putat Jaya Gang IV B dibidik Pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa ) untuk pengembangan pesantren. Setelah duit dari donatur terkumpul, pengurus pesantren terganjal urusan waris. Pemilik wisma meninggal dan belum menikah.
***
AMEG- Ada wisma warna merah yang sangat tersohor di Dolly: Wisma Barbara. Dinding bagian depan dan dalamnya serba merah. Sofanya pun begitu. Kini wisma yang pernah dikuasai Tante Dolly itu sudah jadi aset Pemkot Surabaya. Dirobohkan jadi pasar burung dan akik.
JeHa juga mengambil langkah seperti pemkot. Mereka harus membeli satu per satu wisma di Putat Jaya Gang IV B agar prostitusi yang masih tersisa tidak tumbuh.
Di gang tersebut juga terdapat wisma merah yang mirip Barbara. Sejak lama JeHa membidiknya. Dinding dan perabotan dalamnya hampir semuanya merah. Bahkan warna itu juga mendominasi kamar-kamar pelacurannya.
Lokasinya tepat di tengah Putat Jaya Gang IV B. Kalau bisa mendapat rumah itu, JeHa bisa lebih mudah melakukan dakwah. Tidak lagi di pinggir, dekat gapura seperti gedung Pesantren JeHa pertama.
Lambat laun, niat itu terealisasi. JeHa berhasil menggalang dana untuk membeli wisma merah. “Ya ini. Sekarang jadi masjid,” ujar salah satu pendiri JeHa M. Nasih saat mengantar kami melihat eks wisma itu, 15 April lalu.
Tak mudah “menaklukan” rumah itu. JeHa melewati berbagai rintangan sejak penggalangan dana. Pemkot memprotes video JeHa yang menyatakan bahwa prostitusi masih ada di Jarak Dolly. Transaksi dilakukan secara diam-diam dan terkesan dibiarkan.
JeHa perlu uluran donatur untuk membeli salah satu wisma. Mereka memakai istilah “Pesantren Dolly Dijual” di video tersebut. Istilah itulah yang diprotes pemkot.
Setelah diklarifikasi, urusan kelar. Muncul lagi masalah tanah. Bambang, pemilik wisma meninggal. Ia belum punya keturunan karena belum menikah. JeHa harus mencari ahli warisnya.
Di titik ini, M. Rofiuddin yang juga pendiri JeHa menyadari hikmah mengambil kuliah Jurusan Hukum di Universitas Negeri Jember (Unej). Ia paham urusan tanah dan warisan.
Semua saudara Rofik adalah pakar ilmu agama. Setelah nyantri di Gontor, semua saudaranya melanjutkan pendidikan agama atau bahasa arab di kampus. Bahkan kakak Rofik, Kiai Nu’man sudah jadi doktor ilmu agama di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kini ia mengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Cuma Rofik yang nyempal di jurusan hukum. Kawan-kawannya di kampus kini juga mau membantu JeHa. Bahkan tanpa diminta. Ia jadi sadar ada hikmah dibalik takdirnya kuliah jurusan hukum. “Saya jadi kenal pengacara dan notaris,” ujarnya.
Bahkan ada salah satu notaris di Gresik yang berinisiatif membuatkan akta yayasan. Rofik baru sadar bahwa pesantren yang berdiri di tengah-tengah lokalisasi itu sudah selama delapan tahun tak punya akta. Yayasannya belum terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Notaris baik hati itu, lantas meminta KTP pendiri JeHa. Rofik mengirimkan semua berkas yang dibutuhkan. Cuma satu minggu, akta itu jadi.
Bahkan semua beban biaya pengurusan itu ditanggung sang notaris. Katanya, ini adalah amal jariyah dari profesi mereka. “Aku itu sampai, Ya Allah, ternyata ini hikmahnya kuliah hukum. Boloku akeh (Teman saya banyak),” kata pria yang sampai kini masih mengajar ngaji di JeHa itu.