Anak Bunuh Ayah di Ngawi, Apa yang Salah?

Rabu 21-09-2022,13:37 WIB
Reporter : Djono W. Oesman
Editor : Djono W. Oesman

Dalam sidang di Pengadilan Distrik Kabupaten Wabasha, 13 Mei 2022, James terbukti melakukan pembunuhan tingkat dua (tanpa rencana). Ia dijatuhi hukuman 36 tahun bui tanpa remisi dan pembebeasan bersyarat.

Terpenting, Dr Johnston dalam makalahnya mengulas, betapa masa kanak-kanak James sering dipukul ayahnya, Edward Riley. Bahkan pernah digantung setengah hari, posisi kaki di atas, di pagar halaman rumah di bawah terik matahari.

Gegaranya, James tidak patuh pada perintah ayah. Ibu James jadi saksi tindak keras Edward kepada James. Tapi, sang ibu tidak bisa bertindak, karena Edward tipikal agresif emosional.

Inti makalah itu, perlakukan ortu yang kasar terhadap anak, membentuk kegilaan anak di masa dewasa. Mencetak pribadi anti-sosial pada anak. Tidak punya empati. Dan, miskin afeksi.

Dr Johnston menyimpulkan, tujuan ortu mendidik anak disiplin, bagus. Tanda ortu menyayangi anak, agar kelak tidak lembek.Tapi menyerang fisik, atau psikologis anak, akan menghasilkan anak sakit jiwa.

Prof Dr Kathleen M. Heide dalam bukunya "Why Kids Kill Parents: Child Abuse and Adolescent Homicide" (1992) diungkap detil analisis ilmiah Parricide.

Buku itu meski ditulis tiga dasawarsa lalu, tapi per Agustus 2022 sudah dicetak 18.327 kali. Best seller di Amerika. Tanda, bahwa masyarakat sana sangat khawatir menghasilkan anak-anak pembunuh ortu.

Prof Heide adalah kriminolog terkenal di sana. Dia guru besar kriminologi di University of South Florida, AS. Dia juga kepala Department of Criminology di sana.

Di buku itu Heide kagak pake basa-basi. Dari hasil riset, terungkap bahwa pelaku Parricide adalah anak, atau orang, sakit jiwa. Bisa akibat sakit jiwa bawaan (genetik) atau bentukan (salah didik ortu) di saat pelaku masih kanak-kanak.

Heide membagi tiga golongan pelaku Parricide. Yakni:

1) Anak yang mengalami kekerasan berat.

2) Anak anti-sosial yang berbahaya.

3) Anak yang sakit mental parah.

Nomor satu, jelas. Mirip seperti analisis Dr Johnston. Anak yang dididik ortu dengan cara keras. Baik fisik maupun psikologis. Fisik, dalam bentuk pukulan. Psikologis bentuk kata-kata yang menusuk hati.

Yang mengejutkan, ortu membandingkan prestasi seorang anak dengan saudaranya, atau anak lain bukan saudara, termasuk cara didik yang salah. Apalagi, jika disertai dengan kata-kata makian, atau merendahkan. Misalnya: "Kamu ini anak bodoh. Kalah dengan adikmu yang pintar."

Jika si anak tidak memilik kekuatan mental memadai, ia bisa jatuh mental. Kejatuhannya menimbulkan sakit hati. Semakin dipendam, mengendap jadi penderitaan. Suatu saat, setelah ia remaja atau dewasa, muncul dalam bentuk agresivitas.

Tags :
Kategori :

Terkait

Terpopuler