Jika dijabarkan, rumit. Intinya, menurut Nadia, untuk mengetahui apakah ada kaitan antara penggunaan vaksin itu dengan laporan kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) serius.
Padahal, KIPI sempat berusaha meneliti penyebab kematian Trio Fauqi.
Tapi, dr Nadia menegaskan, penghentian itu tidak terkait dengan kematian Trio Fauqi. Yang diduga akibat pembekuan darah setelah disuntik AstraZeneca.
Sebab, penyebab kematian Trio masih dugaan. Belum dipastikan. Kepastiannya harus melalui bedah forensik. Sedangkan Trio sudah dimakamkan di hari kematiannya.
”Kasus itu (kematian Trio) mungkin bukan pembekuan darah,” kata Nadia. ”Kalau pembekuan darah, butuh kurang lebih 5–7 hari.”
Maksudnya: AstraZeneca jenis itu ada kemungkinan menyebabkan pembekuan darah (kepastiannya sedang diuji BPOM). Tapi, di kasus pembekuan darah, menurut Nadia, pasien akan mati pada kurun 5–7 hari setelah disuntik.
Sedangkan, kasus Trio Fauqi, langsung. Disuntik sekitar pukul 13.00, Selasa (4/5/2921), sorenya langsung demam parah. Esoknya (belum 24 jam dari saat disuntik) death on arrival atau mati di perjalanan menuju RS.
Diskusi soal itu sia-sia. Hanya berupa dugaan demi dugaan. Sebab, tidak ada bedah forensik.
Tapi, problematika itu membuat kita kepo. Balik mundur ke belakang. Seberapa kuat (tingkat efikasi) vaksin AstraZeneca menangkal virus korona?
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dr Penny Lukito pada jumpa pers Selasa (9/3) menyatakan, efikasi vaksin korona AstraZeneca 62,1 persen.
Artinya, orang tervaksin AstraZeneca masih mungkin tertular korona. Probabilitas tertular korona 37,9 persen.
Masih mending, sih. Daripada tidak divaksin.
Soal efikasi itu, kawanku di Bali memberikan ilustrasi begini:
Kita sekarang menumpang kapal di tengah lautan. Yang bocor. Sebentar lagi tenggelam. Mirip kapal Titanic.
Semua orang panik. Berebut pelampung. Petugas pembagi pelampung sampai kewalahan. Maka, semua orang diwajibkan antre. Harus tertib. Petugas membagi, satu per satu.
Ketika orang hendak menerima pelampung, ditanya dulu oleh petugas: