Siswi Jakarta Wajib Jilbab dalam Social Identity Theory

Siswi Jakarta Wajib Jilbab dalam Social Identity Theory

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag

Filename: frontend/detail-artikel.php

Line Number: 116

Backtrace:

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view

File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once

Berbeda dengan The Klan, kelompok tanpa komando yang jelas. Nazi dikomandani Hitler, berkumis gaya Charlie Chaplin.

Para anggota seragam Nazi, berlogo khas. Identitas cara hormat pada Der Fuhrer juga khas: Tangan kanan diacungkan ke atas.

Disebut di buku itu: Pembantaian Nazi terhadap kaum Yahudi dimulai 28 September 1939.

Didata, enam juta kaum Yahudi di Eropa dibantai Nazi. Dari sembilan juta Yahudi yang tinggal di Eropa. Rinciannya: Sekitar tiga juta pria, dua juta wanita, sejuta anak dan bayi.

Data itu dari sekitar sembilan juta kaum Yahudi yang saat itu tinggal di Eropa. Atau, ada sekitar tiga juta orang yang lolos dari maut Nazi.

Sejarah berkonsentrasi pada pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi di The Holokaust. Diurai di buku tersebut, sebenarnya Nazi juga membantai orang Rom, komunis, warga Sovyet, Polandia, kaum homoseksual (karena dianggap penyimpangan) juga orang cacat, dan Saksi Yehuwa.

Total korban The Holocaust sekitar 17 juta manusia.

The Holocaust berakhir 30 April 1945, ketika Hitler bunuhdiri di bunker, sebab Jerman kalah Perang Dunia II.

Sejarah kekejaman umat manusia terkait teori SIT, baru berakhir setelah pemimpinnya ditumpas. Baik pada The Klan maupun Nazi.

Henri Tajfel dan John Charles Turner dalam buku mereka menyebut, SIT tidak akan pernah berakhir. Selama manusia, yang ingin dihargai, dihormati, mendapatkan sumber daya makanan, bergabung dalam kelompok.

Lalu, anggota kelompok akan selalu berupaya mendapatkan 'lebih'. Dapat satu, ingin dua. Akibatnya in-toleran. Walaupun, bentuk dan eskalasi kelompok bisa berbeda-beda. Kelompok intoleran tetap ada. Sampai akhir zaman.

Maka, sepuluh contoh yang diungkap Fraksi PDIP, DPRD DKI Jakarta (di atas) adalah hal biasa, jika dikaitkan dengan teori SIT. Bentuknya (pada 10 contoh itu) adalah aturan di sekolah. Berupa hukum (berlaku lokal sekolah) yang bersifat memaksa.

Sebaliknya, sikap Fraksi PDIP, DPRD DKI Jakarta, mengkritik aturan di sekolah-sekolah tersebut, juga hal wajar. Hukum alam, ada aksi ada reaksi.

Kendati, masyarakat harus membuka buku sejarah The Klan, 157 tahun silam. Masak, kita akan set-back ke sana? (*)

Sumber: