Kecewa Skala 9,5

Kecewa Skala 9,5

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag

Filename: frontend/detail-artikel.php

Line Number: 116

Backtrace:

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view

File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once

Effendi begitu kecewa mengapa banyak wartawan bisa diajak berkomplot seperti itu. Ia kecewa sekali. Sampai ia kembalikan gelar profesornya ke negara.

Apa pun, Effendi Gazali telah bikin sejarah. Di zaman buzzer seperti ini,jurnalisme memang berada di lautan polutan. Jurnalisme profesional benar-benar di ambang kehancuran.

Itu bermula dari zaman reformasi. Yakni ketika siapa pun bisa bikin koran apa pun. Akibatnya wartawan dari ''koran serius'' menjadi minoritas.

Di sebuah konferensi pers, wartawan sungguhan justru bisa merasa malu menjadi wartawan. Terutama saat melihat wartawan berebut amplop –sampai kantong baju panitianya robek.

Waktu itu saya sampai mengusulkan program ratifikasi. Caranya: sejumlah media profesional membuat aturan profesional. Termasuk sistem kesejahteraan wartawan sampai ke jenjang karir. Juga soal ketentuan wartawan harus melakukan apa kalau tulisannya ternyata salah.

Koran yang setuju dengan aturan itu meratifikasi. Ia mengikatkan diri pada ketentuan profesionalisme itu. Bagi koran yang telah melakukan ratifikasi akan diberi tanda khusus di dekat logo halaman depannya. Itu pertanda bahwa koran tersebut bisa dipercaya. Dengan demikian publik tahu mana koran yang profesional dan tidak.

Masalahnya, sekarang ini koran sudah kurang relevan lagi. Ketidakpuasan pada jurnalisme umumnya datang dari media online. Juga dari medsos.

Jurnalisme kini begitu mudah dijadikan alat apa saja. (*)

Sumber: