Selesailah barang itu.
Bulog pun ''habis''.
Memang masih saja bisa bersiasat. Dengan menggunakan dana komersial bank milik negara. Tapi sudah tidak bisa seperti Bulog yang dulu lagi.
Sejak itulah, ujar Saparini, impor bahan pangan menjadi kenyataan baru. Menjadi semacam keharusan.
Lalu senjata impor itu meningkat menjadi solusi permanen.
Alasannya selalu sama: agar inflasi tetap rendah.
Harga pangan impor itu memang lebih murah. Menurut Saparini, itu bukan saja berkat pertanian mereka yang lebih efisien. Tapi juga dari kebijakan ''memperbarui stok'' nasional di sana.
Mereka selalu punya stok besar. Tujuannya: menjaga stabilitas pangan di sana. Stok pangan itu ada masa kedaluwarsanya. Stok yang mendekati kedaluwarsa dilepas. Tentu dengan harga murah.
Menurut Saparini, baik ''efisiensi pertanian'' maupun ''pengadaan stok nasional'' punya latar belakang yang sama: adanya kebijakan negara di bidang pangan strategis. "Core-nya disitu," ujarnyi.
Maka di saat Indonesia krisis minyak goreng Malaysia tenang-tenang saja. Padahal sama- sama penghasil sawit terbesar dunia. Sama-sama eksporter produk sawit. Sesama ras Melayu.
Di Malaysia harga minyak goreng –di sana disebut minyak masak– tidak binal. Tetap saja di sekitar Rp 8.500. Itu harga per liter. Di sana ukuran minyak masak pakai liter. Berarti hanya sekitar Rp 7.800/kg.
Di Malaysia minyak masak juga diurus pemerintah. Yakni oleh Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Hal Ehwal Pengguna. Disingkat –gak usah diingat: KPDNHEP.
Adanya UU yang mengatur pangan strategis itu. Tidak diperlukan keputusan ''sapu jagat''.
Keputusan ad hoc seperti kejutan Presiden Jokowi Jumat lalu itu memang penting. Tapi belum menjamin tidak terjadi lagi. Di lain waktu. Di komoditas lain.
Sepanjang hari kemarin saja, misalnya, sudah beredar rumor ini: yang dilarang itu ekspor olein. Yakni minyak goreng yang belum dikemas. Sedang ekspor CPO tidak termasuk yang dilarang.
Sulit mencari penegasan mana yang benar. Kemarin adalah hari libur. Rumor ini harus dijelaskan hari Senin ini.