Karena penyelesaian secara keras, menurut mereka, merugikan warga Papua. Juga, merugikan nama Indonesia di internasional (maksudnya, pelanggaran HAM). Walau mereka tidak menyebut kata ”HAM”. Mungkin, karena tindakan KKB Papua selama ini melanggar HAM.
Dari kronologi waktu, tampak reaksi Papua berentet. Hari ke hari. Baik yang keras (pembakaran dan perusakan jalan) maupun cara diplomasi. Tiada hari tanpa reaksi (terhadap julukan teroris KKB Papua).
Dari pernyataan Freddy Numberi, ada tiga istilah: 1) Miskin. 2) Telantar. 3) Diskriminasi. Maksudnya, warga Papua dan Papua Barat mengalami tiga hal itu sekarang.
Memang benar. Penulis selama keliling Papua dan Papua Barat tahun lalu, warga di sana secara umum miskin. Mayoritas miskin. Banyak yang sulit makan.
Harga sepiring nasi, lauk seiris ikan, di warung tenda kaki lima rata-rata Rp 50 ribu. Kira-kira tiga kali harga di Jakarta untuk item sama. Padahal, penghasilan penduduk di sana jauh di bawah Jakarta. Penduduk di sana makan umbi-umbian. Yang murah. Bisa dibilang, warga sana miskin.
Tapi, di Jawa pun jutaan orang miskin. Dalam arti, sulit cari makan. Di Jakarta, misalnya, kawasan kumuh Tebet, ribuan orang makan sehari cuma sekali. Dengan mi instan Rp 2.500.
Nomor dua, ”telantar” bersifat relatif. Deskripsinya bagaimana? Siapa yang menelantarkan? Pemerintah pusat atau daerah?
Nomor tiga, ”diskriminasi”, bias. Di seluruh dunia ada diskriminasi. Kulit putih ke hitam. Orang Jepang menyebut orang non-Jepang: gaijin. Di Indonesia pribumi ke nonpribumi. Belum lagi, antarumat beragama.
Pernyataan nomor satu sampai tiga itu mengabaikan upaya pemerintah membangun Papua dan Papua Barat selama lebih dari lima tahun belakangan ini. Seolah tiada pembangunan. Padahal banyak.
Jalan trans-Papua. Dari Kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga Merauke di Provinsi Papua. Sepanjang 4.330,07 kilometer. Atau sekitar tujuh kali jarak Jakarta–Surabaya. Diresmikan Presiden Jokowi 2018.
Jembatan Panjang Hamadi-Holtekam. Jembatan pertama di Indonesia yang didesain untuk tujuan wisata. Menjadikan Kota Jayapura pintu gerbang, berbatasan langsung dengan Papua Nugini.
Jembatan itu 1.328 meter di atas Teluk Youtefa. Menghubungkan Kota Jayapura dengan Distrik Muara Tami di Provinsi Papua. Menjadikan waktu tempuh Jayapura–Skouw yang semula 2,5 jam jadi 60 menit. Diresmikan Jokowi pada Juli 2019.
Infrastruktur listrik di Papua dan Papua Barat. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Orya Genyem 2 x 10 MW. Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro Prafi 2 x 1 25 MW. Sutet 70 kilovolt Genyem-Waena-Jayapura sepanjang 174,6 kilometer sirkit.
SUTET 70 kilovolt Holtekamp–Jayapura sepanjang 43,4 kilometer sirkit, Gardu Induk Waena–Sentani 20 megavolt Ampere dan Gardu Induk Jayapura 20 megavolt Ampere.
Bandara Sentani direhab. Dari kelas satu jadi bandara kelas internasional. Diresmikan Jokowi pada 2017.
Pembangunan itu bisa saja dipelesetkan jadi begini: ”Kami tidak makan jalan, tidak makan jembatan, tidak makan listrik. Melainkan, butuh duit buat beli nasi.”