Sodiq Amin
SRI LANKA kini diibaratkan kapal yang sedang tenggelam. Sedang Pakistan sudah berusaha tetap mengapung.
Sudah diputuskan: Sri Lanka tidak bisa membayar utang. Sabtu lalu. Terserah mau diapakan. Perdagangan saham pun dihentikan. Seminggu dulu —entah bagaimana selanjutnya. Saham itu, kalau tidak distop, pasti rontok.
Listrik di sana sudah byar-pet. Parah. Tidak tertahankan. Bensin dan solar juga harus diantre. Bahan makanan tidak cukup. Devisa untuk impor pun tidak ada.
Benar-benar seperti kapal mau tenggelam.
Kita aman. Mestinya. Ekspor kita terbesar dalam sejarah —devisa kita tertinggi sejak 1945. Ekspor sawit, batu bara dan nikel mencapai kejayaannya: terima kasih Rusia?
Sedang ekonomi Sri Lanka sekarang ini yang terburuk. Dalam sejarahnya sebagai negara merdeka. Terburuk sejak 1948.
Tiongkok tidak bisa lagi diutangi. Juga India. Itulah sikap dua pemberi utang terbesar Sri Lanka.
Sejak dua tahun lalu Tiongkok dan India sudah mengerem ekspansi keuangannya. Mereka sudah melihat tidak ada lagi kemampuan Sri Lanka untuk membayar utang.
Tiongkok justru menyarankan agar Sri Lanka —juga Pakistan— untuk kembali ke IMF. Mereka adalah anggota IMF —dan IMF wajib menolong anggotanya.
Tapi Anda sudah tahu: prosedur di IMF sangat panjang. Dan rumit. Dan harus prudent. Tidak mungkin IMF bisa mengucurkan dana mendadak.
Padahal istana presiden Sri Lanka sudah dikepung pendemo. Sudah lebih satu minggu. Tuntutan mereka kian keras: Presiden Gota Rajapaksa harus mundur.
Di Pakistan lebih baik. Militer kian terlihat pendukung Perdana Menteri Baru Shehbaz Sharif. Pemimpin baru itu sudah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM. Juga menahan kenaikan tarif listrik —bahkan akan menurunkannya.
Putra sulung Sang Perdana Menteri justru menyusul terpilih sebagai Gubernur Punjab. Pekan lalu. Itulah provinsi terpenting di Pakistan.
Konsolidasi keluarga Sharif kelihatannya terus dilakukan. Tinggal mantan Perdana Menteri Imran Khan yang masih terus berusaha memojokkan Sharif.
Sumber: