Sodiq Amin

Sodiq Amin

Imran begitu marah dengan pengkhianatan di partainya. Yang membuat ia sampai kehilangan jabatan.

Memang tidak ada istilah dagang sapi di perpolitikan Pakistan. Tapi ada dagang kuda —istilah yang sama dengan di Eropa.

Juga tidak ada istilah loncat pagar di sana. Tapi ada 'pelintas lantai'.  Pedagang kuda dan pelintas lantai itu disebut Imran sebagai bukan orang yang sodiq dan amin. Dua istilah itu, di Indonesia, sering diucapkan sebagai sodiq dan amanah'.

Intinya: politisi yang seperti itu tidak bisa dipercaya. Menurut Imran mereka harus dilarang jadi anggota DPR. Seumur hidup. Mereka dianggap melanggar keterwakilan seperti yang dimaksudkan konstitusi. Mereka melanggar konstitusi.

Begitulah inti surat yang dikirim kuasa hukum mantan perdana menteri Imran Khan. Surat itu ditujukan ke Mahkamah Agung. Tindasannya ke banyak pihak. Termasuk ke pemerintahan baru Pakistan yang menggantikannya.

Imran menghendaki agar MA mengeluarkan putusan: mencabut hak politik mereka yang tidak sodiq dan amanah itu. Agar tidak bisa dipilih lagi sebagai anggota DPR. Seumur hidup mereka.

Itu menunjukkan betapa jengkel Imran atas pengkhianatan anggota DPR dari partainya. Yang menyeberang dari lantai pemerintah ke lantai oposisi. Memang tidak ada pagar yang memisahkan antara tempat duduk kedua blok itu. Mudah. Tinggal menyeberang begitu saja. Justru akibatnya yang sulit —bagi Imran Khan: ia jatuh dari kursi pusat kekuasaan.

Di Amerika yang seperti itu biasa. Terang-terangan. Pun pekan lalu. Beberapa anggota Senat dari Partai Republik memilih Ketanji Brown Jackson sebagai hakim agung yang baru. Padahal kebijakan Partai Republik jelas: jangan pilih dia.

Dia dicalonkan oleh Presiden Joe Biden. Dia adalah wanita kulit hitam pertama yang menjadi calon hakim agung. Di AS, Hakim Agung itu jabatan seumur hidup. Beranggotakan 9 hakim agung. Mereka hanya bisa kehilangan jabatan kalau meninggal dunia. Atau mengundurkan diri.

Ketanji Brown, 51 tahun, lulusan Harvard University yang top itu. Kelulusannyi pun summa cum laude. Suaminyi kulit putih. Dua anaknyi punya kulit seperti bapak mereka. 

Akibat pembelotan tiga anggota Senat dari Republik itu Ketanji menjadi sejarah 233 tahun Amerika. Wanita kulit hitam pertama terpilih sebagai hakim agung.

Di Pakistan yang membelot itu 24 orang. Cara membelotnya pun dramatik. Mereka tidak hanya menyeberangi lantai. Mereka juga menyeberangi jalan. Berhari-hari mereka bersembunyi di suatu tempat. Tidak jauh dari 'perumahan DPR. Alasan mereka: untuk menyelamatkan diri dari ancaman.

Tempat persembunyian mereka itu yang jadi masalah: di Sindh House. Itu mirip hotel bintang lima. Bagus. Mewah. Dengan halaman yang luas. Perbukitan di belakangnya. Secara hongsui itu membawa hoki: bersandar ke gunung, memandang ngarai yang luas.

Sindh House (FOTO: lahoreherald.com)

Dari namanya saja Anda sudah tahu: 'hotel' itu milik Pemda Provinsi Sindh. Itulah provinsi terpenting kedua di Pakistan. Pejabat-pejabat dari Sindh tinggal di situ —kalau lagi ada urusan di ibu kota Islamabad.

Pemda Sindh perlu membangun itu karena, sebagai IKN baru, kala itu, Islamabad dianggap belum punya hotel yang memadai.

Sumber: