Monas Lokal

Monas Lokal

A PHP Error was encountered

Severity: Warning

Message: array_multisort(): Argument #1 is expected to be an array or a sort flag

Filename: frontend/detail-artikel.php

Line Number: 116

Backtrace:

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/views/frontend/detail-artikel.php
Line: 116
Function: array_multisort

File: /var/www/html/ameg.disway.id/application/controllers/Frontend.php
Line: 561
Function: view

File: /var/www/html/ameg.disway.id/index.php
Line: 317
Function: require_once

IMHO. In My Humble Opinion. Dengan sejarah sebagai dasarnya, sejak sebelum RI berdiri sudah ada 3 aliran pemikiran dalam Islam yaitu tradisionalis (Nahdlatul Ulama), modernis (Muhammadiyah) dan trans-nasionalis. Yang terakhir ini semakin berkembang pesat dan merekrut pengikutnya dari dua yang pertama. Ini sebuah gerak zaman. Era Sukarno, kebanyakan, rakyat Indonesia tinggal di desa /rural yang mana menjadi basis NU. Lalu di era Suharto terjadi urbanisasi dan di urban/kota adalah jelas basis Muhammadiyah. Dan kini adalah zaman dimana dunia seolah menjadi small village/kampung kecil dengan semakin majunya transportasi, komunikasi, informasi. Dan aliran pemikiran trans-nasional terutama yang digerakkan Saudi, UEA, Qatar, dkk dengan kekuatan petrodollarnya merambah ke NKRI. Sehingga tak aneh bila di DPR sekarang tercermin sejarah itu sendiri. PPP adalah ciptaan Suharto yang berusaha menyatukan NU dan Muhammadiyah. PKB yang NU. PAN yang Muhammadiyah. PKS yang trans-nasionalis. Demikian analisis sejarah singkat saya. Semoga bermanfaat.

Komentator Spesialis

Islam dipakai saat cari suara doang. Setelah itu dipakai untuk cari duit dan kekuasaan. Giliran Islam dihina, Islam dinista, Rosulullah dihina, Rosulullah dinista nggak ada suara. Tidak beriman seseorang sampai Rosulullah lebih kalian cintai melebihi cintamu kepada orang tua dan dirimu sendiri.

No Name

Maafkan kami pemerintah, tahun 2024 kami tidak bisa ikut pilpres dan pemilu. Sebabnya kami tak memiliki BPJS.

Gito Gati

Silahkan pak yai ngotot membawa NU ke politik. Silahkan bikin kaos NU kultural PKB, NU struktural sakkarepmu. Tapi jangan lupa, kalau NU kultural semua di PKB, pasti PKB jadi pemenang pemilu. Jadi "kaos" pak yai itu tidak benar. Apalagi kami Gusdurian tetap memegang prinsip: PKB yess Muhaimin NO!! Silahkan pak yai berikhtiar dan biarkan kami NU kultural menyalurkan aspirasi politik sesuka hati kami. Salam ASWAJA

Jokosp Sp

Sedikit masukan buat para pentolan yang mau dapat suara. Di Kalimantan khususnya, ada beberapa istilahnya kaum pendatang tidak suka berpolitik. Apalagi yang pekerja di Tambang mereka tidak tersentuh atau berusaha ditarik oleh partai. Terlihat peran serta pemilih sangat kecil, kurang 50% dibanding dengan jumlah penduduk yang sudah masuk jadi pemilih aktif. Maka mereka lebih asyik cari duwit lebih jelas hasilnya. Sementara yang penduduk asli dan sudah lama sudah banyak terplot di tiga kekuatan besar ( 1 golkar, 2 gerindra, 3………… masih buat rebutan pdi, nasdem, demokrat ). Pkb, ppp ada di mana ? ya di luarnya. Jadi saya kasih tahu ke Pak Kyai Jazuli, kalau mau menaikkan angka perolehan suara pkb ya jangan hanya fokus di Jawa saja. Pkb jelas rebutan dengan PPP untuk warga NU nya. Belum sebagian juga ada yang lari ke PDI atau Golkar bagi kaum mudanya. Apalagi sekarang pkb tidak ada tokoh sentral yang kuat seperti pada masa yang lalu Kyai Gus Dur. Kalau Muhaimin di sini gag ada kedengaran. Jadi carilah tokohnya dulu yang kuat, berarti ganti dulu Pak Muhaimin ya ………………….?

Andri Sutanto

saya jadi penasaran sama si Juve Zhang ini, apa dlu pernah main X11 ?

Teguh Wibowo

Bila ada yg nanya kamu Islam NU apa Muhammadiyah? Pasti saya akan bingung. Saya ini suka dengar ceramàhnya Gus Baha, Gus Khalid Basalamah, Ustad Adi Hidayat. Kadang pas di mobil juga suka denger radionya MTA.. Bagi saya, kepada yg beda agama saja kita diajarkan toleransi, tapi kenapa kepada yg beda pemahaman kita malah sering saling menyalahkan.

Hardiyanto Prasetiyo

Kultural ataupun struktural sebenarnya gk jauh beda, bedanya cuman tipis, cuman beda nasib saja. Kultural cuman jadi anggota, struktrural jadi pengurus. Pengurus disumpah, kultural bebas tak ada ikatan. Bisa kiri bisa jg kanan. Brgkt dr situ, target menjaring kultural gampang2 susah. Karena yg kultural ibaratnya terdakwa yg tiba2 pakai kerudung/kopyah padahal sebelumnya gk pernah. Fenomena ini dikultural yg blm dicarikan jalan keluar dan blm terpecahkan sampai skrg. Piye enak kultural to???

Sumber: